Lihat ke Halaman Asli

Imam Maliki

Manusia yang ingin berbuat lebih, melebihi rasa malas

Penyulut Petasan, Teroris Terselubung

Diperbarui: 24 Juni 2018   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Kompas.com

Liburan hari raya Idhul Fitri, saya dan keluarga memilih berlibur di rumah saudara di Desa Kencong, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Selain liburan, ke Kediri ini juga dalam rangka  mengunjungi orangtua yang sakit stroke.

H+3 saya datang dengan segudang angan-angan liburan yang berkualitas. Deretan destinasi wisata di kediri masuk daftar kunjungan. Diantaranya adalah kampung indian, wisata gunung kelud, candi surowono, kampung inggris dan kuliner di Pare.

Teror Petasan

Berangkat dari Malang jam 9 pagi. Sampai di rumah saudara di Kediri jam 1 siang. Baru masuk rumah Kediri di suguhi dengan suara keras petasan, rumah terasa bergetar. Petasan itu meletus bersahutan, mirip di medan perang Syiria. 

Saya mencari tahu tempat menyulut petasan. Ternyata berjarak 3 rumah di sebelah kanan rumah saudara. Petasan yang disulut warga kampung bukannya petasan mini yang berdiameter 1 cm, tapi petasan jumbo seukuran lengan. Mereka menyulut tanpa memakai penyumbat telinga. Anak-anak pun melihat tanpa menutup telinga. Padahal suara yang keras sangat membahayakan indera pendengaran mereka. Petasan yang meledak meninggalkan kertas yang berhamburan dengan asap tebal berwarna putih.

Heran, suara yang keras itu tidak ada teguran dari aparatur desa, minimal RT. Menurut kakak, ketua RT tidak punya keberanian untuk menegur. Sebenarnya warga kampung juga merasa terganggu. Kakak saya pernah menegur sekali, tapi hanya efektif sehari itu, selanjutnya dardor dardor lagi. Nggrundel yang terjadi.

Hari ketiga selepas shubuh di kejutkan dengan suara petasan yang menggelegar kali ini lebih keras dari biasanya. Ibu yang terbaring sakit sampai menjingkat kaget. Darah muda saya mendidih. Jika kemarin saya bisa menerima di cegah saudara untuk tidak menegur secara langsung. Kali ini tidak bisa di cegah.

2 orang laki-laki seusia 40an tahun, dengan 1 ibu di tonton anak-anaknya, menyulut petasan dengan enaknya. Saya hampiri langsung. Dengan baik-baik saya bilang jangan menyulut petasan, ada orang tua yang sakit. Mereka minta maaf, telah mengagetkan.

Hari ke 4. selepas maghrib, ada lagi dentuman keras. saya yang lagi makan saya tinggalkan, tanpa beralas kaki saya datangi mereka. Dengan suara bergetar, saya bilang mohon dengan sangat jangan menyulut petasan lagi. "bagaimana perasaanmu jika orangtuamu yang sakit, di sulut petasan?" kata saya. Kali ini saya menegur dengan penekanan yang dalam. Dalam hati jika himbauan ini tidak di hiraukan, saya siap bertarung dengan cara apapun.  Untung, mereka berjanji tidak mengulangi.

Penyulut Petasan Melanggar Norma Agama dan Hukum

Tidak lupa, saya menghubungi kantor Polisi terdekat, agar memberi teguran secara langsung. Bukan untuk memenjarakan, tapi memberikan efek jera. Dalam hukum positif di Indonesia juga terdapat hukuman bagi penyulut petasan. UU Darurat No 12 tahun 1951 pasal 1 ayat 1 tentang pengawasan senjata api dan bahan peledak menyatakan pemroduksi dan pemakai petasan bisa terancam hukuman 20 tahun penjara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline