Lihat ke Halaman Asli

Sepucuk Surat untuk Bapak-bapak yang Terhormat.

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah sekian lama aku pendam, akhirnya aku putuskan untuk menulis sepucuk surat untukmu, wahai Bapak-bapak yang terhormat. aku sendiri ragu, apakah kalian akan membacanya seperti harapanku. atau, Bapak-bapak sedang sibuk mengurusi “negara” yang mungkin jauh lebih penting daripada urusanku. meski demikian, aku tetap menuliskan surat ini. setidaknya sebagai medium curahan hati seorang kecil, yang seringkali terdengar parau, tak terhiraukan. semoga para pembaca mau menjadi saksi, dan semoga surat ini juga bisa mewakili alam bawah sadar ”suara kecil” lain di republik ini.

Bapak-bapak yang terhormat, yang sedang makan di restoran mewah..

aku melihat seorang bapak tua, dengan gemetar sedang mengais sampah. seorang gadis kecil bermain tutup botol di perempatan lampu merah, seorang ibu muda menggendong balita sambil tangannya terus memainkan ukulele di dalam bis yang sedang sesak. seorang laki-laki belasan tahun memikul semen di pundak sambil bersiul. yang mereka harapkan mungkin makanan enak seperti yang sedang di hidangkan seorang waitres cantik ke meja bapak, tapi yang mereka dapatkan mungkin hanya makanan eneg yang bisa mengganjal perut yang sedang meronta.

Bapak-bapak yang terhormat, yang sedang berbaring di kasur hotel bintang lima yang nyaman..

aku melihat adik kecil terkulai di bangku terminal sambil memeluk gitar usang. seorang nenek berbaring di gerobak sayur reot miliknya, sekumpulan anak sedang berdesakan di kamar berdinding kardus dan beratap jembatan. seorang kernet sedang mendengkur di atap truk bermuatan terigu. mungkin mereka sedang mimpi tidur di kamar hotel berbintang, tetapi aku yakin bapak tidak mimpi tidur beralas koran di muka sebuah toko kelontong.

Bapak-bapak yang terhormat, yang sedang minum kopi di starbuck..

aku menyaksikan sekumpulan bapak-bapak sedang duduk di warung kopi pinggir jalan kereta,bibi tua minum teh di tengah sawah, di bawah terik ultraviolet.anak-anak muda penganggur minum toak di pinggir kali yang berbau busuk. seorang bocah menenteng botol berisi air berwarna putih encer, katanya susu.

Bapak-bapak yang terhormat, yang sedang rapat di ruang ber AC…

aku melihat sekumpulan laki-laki sedang ngobrol tentang kampung mereka yang terendam lumpur, ibu-ibu yang sedang meratapi pasar tempat mereka berjualan sedang di gusur. sekumpulan warga yang rumahnya hilang di bawa arus sungai yang meluap. mungkin Bapak-bapak sedang membahas kesejahteraan kami, tetapi kami di sini tidak sedang membicarakan kekayaan bapak.

Haruskah aku menutup mata agar tidak menyaksikan semua ini. sangat sulit bagiku mendamaikan kenyataan ini. akan tetapi aku sangat sulit untuk mencari alasan untuk menghilangkan keresahanku ini. akan tetapi apa dayaku, aku hanyalah orang kecil, yang terpinggirkan, yang tersisihkan. tetapi sekiranya aku masih boleh berharap, dan terus berharap. semoga aku dan orang-orang kecil yang lain kiranya bisa atau nantinya termasuk atau mungkin di masukkan ke dalam “negara”, sehingga Bapak-bapak yang terhormat sudi dan berkenan mengurus dan memperhatikan suara kami.

Tetapi masihkah kami bisa berharap???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline