Lihat ke Halaman Asli

DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA

Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka

Omnibus Law: Derita Pekerja Kontrak Tak Berujung

Diperbarui: 22 Juli 2024   07:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

rencanamu.id

Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan istilah Omnibus Law telah menjadi topik kontroversial di Indonesia sejak diresmikan pada tahun 2020. Salah satu aspek yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah dampaknya terhadap pekerja kontrak. 

Meski bertujuan untuk meningkatkan investasi dan memperbaiki iklim usaha, banyak pihak menilai bahwa Omnibus Law justru memperburuk kondisi pekerja kontrak. Pekerja kontrak kini menghadapi ketidakpastian yang semakin besar, dengan perlindungan yang minim dan kesejahteraan yang terancam.

**Pekerja Kontrak dalam Omnibus Law**

Salah satu perubahan signifikan yang dibawa oleh Omnibus Law adalah fleksibilitas dalam kontrak kerja. Sebelum adanya undang-undang ini, peraturan ketenagakerjaan memberikan batasan yang jelas mengenai durasi kontrak dan jangka waktu maksimal untuk kontrak kerja sementara. Namun, dengan diberlakukannya Omnibus Law, aturan tersebut menjadi lebih longgar. Perusahaan dapat memperpanjang kontrak kerja tanpa batas waktu yang jelas, sehingga pekerja kontrak berada dalam posisi yang rentan.

Fleksibilitas kontrak ini mungkin menguntungkan bagi perusahaan karena mereka dapat dengan mudah menyesuaikan jumlah tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan bisnis. Namun, bagi pekerja kontrak, situasi ini menciptakan ketidakpastian yang berkepanjangan. Mereka tidak pernah tahu kapan kontrak mereka akan berakhir atau diperpanjang, dan hal ini berdampak pada kestabilan hidup mereka, baik dari segi finansial maupun psikologis.

**Minimnya Perlindungan dan Kesejahteraan**

Selain ketidakpastian kontrak, Omnibus Law juga mengurangi berbagai perlindungan yang sebelumnya diberikan kepada pekerja. Salah satu contohnya adalah penghapusan atau pengurangan hak atas pesangon bagi pekerja yang kontraknya tidak diperpanjang. Sebelum adanya undang-undang ini, pekerja yang diberhentikan memiliki hak untuk mendapatkan pesangon sebagai bentuk kompensasi atas pengabdian mereka. Namun, dengan Omnibus Law, hak ini menjadi semakin terbatas.

Tidak hanya itu, Omnibus Law juga mengubah ketentuan mengenai upah minimum. Pekerja kontrak, yang umumnya mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan pekerja tetap, semakin terjepit dengan adanya fleksibilitas penetapan upah minimum berdasarkan sektor dan wilayah. Penerapan upah minimum sektoral yang lebih rendah di beberapa daerah industri mengakibatkan kesejahteraan pekerja kontrak semakin terpuruk.

**Ketidakpastian Jaminan Sosial**

Jaminan sosial menjadi salah satu aspek penting dalam kesejahteraan pekerja. Namun, dengan diberlakukannya Omnibus Law, jaminan sosial bagi pekerja kontrak juga mengalami ketidakpastian. Fleksibilitas dalam perekrutan dan pemutusan hubungan kerja membuat banyak pekerja kontrak tidak terdaftar dalam program jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Akibatnya, mereka tidak memiliki perlindungan ketika terjadi kecelakaan kerja, sakit, atau di usia pensiun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline