Lihat ke Halaman Asli

DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA

Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka

Threshold pada Pemilu: Masalah bagi Demokrasi?

Diperbarui: 5 Juli 2024   04:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.kompas.id/baca/english/2024/03/01/en-soal-putusan-mk-yang-hapuskan-ambang-batas-parlemen-4-persen-mahfud-bagus

**Pendahuluan**

Pemilihan umum (pemilu) adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Ia berfungsi sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang dipercaya dapat merepresentasikan kehendak dan kepentingan masyarakat. Namun, di banyak negara, termasuk Indonesia, terdapat aturan yang dikenal sebagai "parliamentary threshold" atau ambang batas pemilu. Aturan ini menentukan jumlah minimum suara yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen. Meskipun dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem politik dan memastikan stabilitas pemerintahan, threshold pada pemilu sering kali menjadi sumber kontroversi dan dianggap menghambat prinsip dasar demokrasi.

**Sejarah dan Tujuan Parliamentary Threshold**

parliamentary threshold pertama kali diperkenalkan di berbagai negara sebagai upaya untuk mencegah fragmentasi politik dan memastikan bahwa hanya partai-partai dengan dukungan signifikan yang dapat duduk di parlemen. Tujuannya adalah untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dan mengurangi risiko terjadinya koalisi yang terlalu heterogen, yang dapat menghambat proses pengambilan keputusan. Di Indonesia, misalnya, threshold diterapkan untuk mencegah banyaknya partai kecil yang dapat mengganggu stabilitas politik.

**Masalah yang Timbul dari Penerapan Threshold**

1. **Pembatasan Representasi Politik**: Salah satu kritik utama terhadap threshold adalah bahwa ia membatasi representasi politik. Partai-partai kecil yang mungkin memiliki dukungan substansial di segmen tertentu masyarakat tidak akan mendapatkan kursi di parlemen jika mereka tidak mencapai ambang batas. Ini berarti bahwa suara dari sejumlah pemilih tidak akan terwakili, yang bertentangan dengan prinsip inklusivitas dalam demokrasi.

2. **Distorsi Keadilan Pemilu**: Threshold dapat menyebabkan distorsi dalam representasi proporsional. Misalnya, jika sebuah partai memperoleh 4,9% suara dalam sistem dengan ambang batas 5%, suara tersebut pada dasarnya "hilang" dan tidak terwakili. Hal ini dapat mengurangi legitimasi proses pemilu dan menyebabkan ketidakpuasan di kalangan pemilih.

3. **Monopoli Kekuasaan oleh Partai Besar**: Dengan adanya threshold, partai-partai besar lebih diuntungkan karena mereka memiliki sumber daya yang lebih besar untuk memenuhi ambang batas. Ini dapat mengarah pada monopoli kekuasaan oleh partai-partai besar dan mengurangi keberagaman politik dalam parlemen. Monopoli ini juga dapat menghambat inovasi politik dan mengurangi kompetisi yang sehat.

4. **Penguatan Politik Transaksional**: Dalam upaya untuk mencapai threshold, partai-partai kecil sering kali terpaksa melakukan politik transaksional, seperti bergabung dalam koalisi dengan partai besar atau menerima kompromi yang mengikis prinsip-prinsip dasar mereka. Ini bisa merusak integritas politik dan memperburuk praktik korupsi.

**Studi Kasus: Indonesia**

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline