Revisi Undang-Undang Penyiaran menjadi isu penting dalam konteks regulasi media di Indonesia. Sejak UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diundangkan, perkembangan teknologi dan dinamika sosial menuntut adanya penyesuaian regulasi agar tetap relevan dan efektif. Salah satu pertanyaan kunci yang muncul adalah apakah revisi UU Penyiaran ini sudah sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers, yang memberikan arahan mendasar tentang kebebasan dan tanggung jawab pers di Indonesia.
#### Latar Belakang Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 dibuat pada masa transisi politik pasca-G30S/PKI, ketika Indonesia sedang mencari bentuk dan arah baru dalam sistem politik dan hukum. Ketetapan ini memberikan landasan bagi pembinaan pers yang bebas namun bertanggung jawab, dengan tujuan utama untuk:
1. **Menjamin Kebebasan Pers**: Memastikan bahwa pers dapat beroperasi secara bebas tanpa campur tangan yang tidak semestinya dari pemerintah.
2. **Mengatur Tanggung Jawab Pers**: Memberikan kerangka yang mengatur bahwa kebebasan pers harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan etika jurnalistik.
3. **Menegakkan Profesionalisme**: Mendorong profesionalisme dalam praktik jurnalistik untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan akurat, obyektif, dan mendidik.
#### Revisi UU Penyiaran dan Kesesuaiannya dengan Ketetapan MPRS
Revisi UU Penyiaran yang sedang diperdebatkan saat ini mencakup berbagai aspek yang berupaya menyesuaikan regulasi dengan perkembangan zaman, termasuk digitalisasi media, penyiaran berbasis internet, dan pengawasan konten. Untuk mengevaluasi apakah revisi ini sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, kita perlu melihat beberapa poin utama:
1. **Kebebasan Penyiaran**:
- **Ketetapan MPRS**: Menekankan pentingnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi, dengan batasan yang jelas hanya untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan tersebut.