Lihat ke Halaman Asli

DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA

Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka

Persatuan Nasional Harus Berlandaskan Pengakuan Atas Kebebasan Berpendapat

Diperbarui: 7 Desember 2023   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polarisasi politik yang sempat terjadi di Pilpres 2014 dan kemudian berlanjut di Pilkada DKI Jakarta 2017 (Hingga Pemilu 2019) memunculkan kekhawatiran sekaligus harapan. Khawatir bahwa polarisasi politik akan berujung perpecahan yang tidak diinginkan. Sekaligus juga harapan bahwa situasi ini akan membawa pembelajaran politik yang semakin mendewasakan kesadaran rakyat marhaen.

Sejak pilpres 2014 hingga pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019 lalu, Bangsa Indonesia seperti terpolarisasi ke dalam dua kubu. Menanggapi hal itu banyak kalangan yang menyebut pentingnya persatuan untuk mengatasi berbagai persoalan besar yang menghadang.

- Polarisasi dalam politik memang bisa menimbulkan perpecahan, namun pentingnya persatuan sangatlah vital untuk menangani masalah besar yang dihadapi. Kolaborasi antarberbagai pihak bisa membantu menyelesaikan persoalan yang kompleks dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif.

Pertama harus jelas dulu konsep persatuan nasional itu seperti apa. Apakah seperti zaman orde baru, bersatu artinya mengikuti semua dibuat oleh pemerintah. Istilahnya Mono-loyalitas. Jadi semua harus sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berkuasa. Yang mengkritik dianggap tidak komit pada persatuan.

Menurut saya kita harus samakan dulu bagaimana dan hal-hal apa yang membuat kita bersatu. Komitmen untuk menjaga NKRI dan Pancasila menurut saya itu tidak masalah. Yang masalah adalah ketika sebagian pihak merasa pemerintah yang berkuasa saat ini alergi terhadap perbedaan. Saya pikir ini pemerintah yang paling sensitif setelah reformasi Mei 1998. Ada orang menyatakan sikap berbeda sedikit langsung ditindaklanjuti secara hukum.

Kalau kita lihat kembali ke Pilpres 2014 Dan pemilu 2019, dua pasangan capres dan cawapres mengangkat tema yang hampir sama, seperti soal kedaulatan nasional dan juga soal kesejahteraan sosial sebagai platform. Bukankah seharusnya bisa sejalan?

- tema-tema tersebut memang esensial untuk kesejahteraan dan kedaulatan nasional. Meskipun kedua pasangan memiliki fokus yang serupa, perbedaan dalam pendekatan dan strategi bisa membuat pandangan mereka terlihat berbeda. Namun, pada intinya, keduanya memiliki tujuan yang sejalan dalam membangun kedaulatan dan kesejahteraan bangsa. Tetapi saya pikir,

2014 dan 2019 itu sudah jauh berubah dengan saat ini. Dalam pemilu sebetulnya platform umum bisa sama, tapi keberpihakan itukan terkonfirmasi dengan track record. Dan polirasasi di 2014 itu sudah bergeser. Kenapa? Hanya beberapa bulan setelah pemilu beberapa parta yang cukup besar, sudah geser dukungan ke pemerintah. Bahkan saat ini di parlemen pemerintah itu super majority. Dalam setiap pengambilan keputusan itu jauh sekali (keunggulannya).

Jadi tidak ada lagi polarisasi di 2014 dan 2019. Yang ada sekarang adalah ril polarolisasi antara pihak-pihak yang benar berkomitmen menjaga NKRI, Pancasila, mencegah segala kebocoran kekayaan dari luar negeri dengan pihak-pihak sebaliknya.

Persoalan "kebocoran APBN" yang sempat Ramai dibicarakan Pada Pemilu 2014 itu masih terjadi dalam pemerintah sekarang?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline