Republik Indonesia sudah 78 tahun merdeka. Namun, cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur, masih jauh dari kenyataan.
Lihat saja kenyataan di sekitar kita: kemiskinan, ketimpangan sosial, pengangguran, korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang merajalela, dan pelecehan serta kekerasan terhadap Perempuan dan anak, dan sebagainya. Semua itu menunjukkan ada persoalan besar yang dihadapi bangsa ini dan tidak kunjung disentuh untuk diselesaikan.
Apa sebetulnya persoalan besar bangsa dewasa ini? Bagaimana menjawab persoalan bangsa tersebut? Apakah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin Saat ini bisa menjawab persoalan itu? Rentetan pertanyaan itu perlu mendapatkan jawaban yang pasti.
Apa yang menjadi persoalan mendasar yang dihadapi Republik ini? Sudah 78 tahun merdeka, tampaknya kita belum berangkat juga menuju Indonesia adil dan makmur sebagaimana cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks. Beberapa di antaranya adalah masalah ketimpangan sosial-ekonomi, akses pendidikan yang (belum) merata, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan juga tantangan lingkungan seperti perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. Selain itu, masalah korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), ketidaksetaraan gender, serta penguatan tata kelola pemerintahan juga tetap menjadi fokus. Perubahan membutuhkan waktu, tetapi upaya bersama dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah dapat membawa perubahan positif menuju cita-cita kemerdekaan yang lebih merata dan berkelanjutan.
Tetapi ada juga pandangan juga bahwa korupsi-kolusi-nepotisme bukanlah masalah mendasar. Imperialisme atau nekolim sebagaimana dahulu Bung Karno menyebut kondisi penjajahan baru pasca kemerdekaan, masihlah menjadi pengganjal utama. Karena itu tanpa mengerti persoalan mendasar yang dihadapi Negara Ini.
Harapan terhadap KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, misalnya, bisa menjadi sia-sia. Kegaduhan politik justru yang ditimbulkan sebab KPK maupun lembaga penegak hukum lainnya pun dapat menjadi lembaga baru untuk melakukan juga tindakan kongkalikong politik seperti yang ditunjukkan dengan fenomena tebang pilih dalam menjerat koruptor, menjadi alat pecah belah.
Tentu saja, kalo kita mau ambil akarnya situasi ini cukup mudah dianalisis dengan Trisakti. Politik kita tidak bisa berdaulat penuh karena proses pengambilan keputusan bisa dipengaruhi kekuatan asing, apalagi soal kemandirian ekonomi dimana konsolidasi kekuatan nasional tidak menunjukkan hasilnya. Kepercayaan diri untuk mengelola sumber daya belum muncul sehingga soal pangan kita dipaksa makan gandum, padahal ada beras, jagung, umbi-umbian sorgum, sagu dan lain-lain, yang sangat mungkin untuk memenuhi pangan nasional dengan diversifikasi pangan. Termasuk soal energi dari Sumber Daya Alam (SDA) yang kita miliki; minyak, gas, panas bumi, surya, angin, dan lain-lain. Serta kepribadian dalam kebudayaan yang memiliki nilai-nilai khas: gotong-royong, budi pekerti, rembug-an dan seabreg produk-produk budaya dan seni. Namun semua itu rontok ketika nilai individualis mendominasi dan pragmatisme menjadi nilai yangg makin universal, maka korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) sebagai jalan pintas menjadi persoalan Besar.
Kita lihat akhir-akhir ini bangsa kita dihadapkan pada banyak persoalan dan kelesuan ekonomi menjadi tema sentral. Beberapa kebijakan ekonomi dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi kelesuan ekonomi.
Sebagai ikhtiar politik ekonomi itu sudah bener, karena situasi ekonomi global memang harus mendapatkan respon agar ekonomi nasional tidak tertular dan makin parah. Kita harus punya inisiatif. Jika boleh kita sebut Preisden Jokowi perlu inisiatif untuk mengajak Negara-negara berpengaruh membuat kesepakan ekonomi dunia, new order dan menyudahi ketergantungan kita pada Bank Dunia. Inspirasi Bung Karno soal Konferensi Asia-Afrika bisas ditarik untuk mencari solusi global bersama. Lobi internasional menjadi sangat penting, tetapi akan lebih baik kita ambil inisiatif sendiri mengajak negara negara dunia kelas tiga untuk bersatu. Sekaligus kita menguji kemampuan bangsa!