Dari sekian banyak indikator makroekonomi untuk mengukur tingkat kesehatan keuangan suatu negara, Debt to GDP ratio adalah satu yang paling populer. Mengapa? mungkin karena paling mudah dipahami.
Ratio tersebut mengukur kemampuan suatu negara untuk melunasi utangnya dengan membandingkan jumlah utang pemerintah dengan GDP-nya, yaitu produksi barang dan jasa negara tersebut dalam satu tahun. Hal ini terkait dengan wewenang pemerintah untuk memungut pajak. Kalau GDP-nya tinggi, maka potensi negara memungut pajak juga tinggi, kemampuan bayar utang juga tinggi. Logika sederhananya seperti itu.
Sebagai ilustrasi, misalkan Indonesia hanya memproduksi Jengkol. Semua sumber daya ekonomi dipakai hanya untuk produksi jengkol. Yang tidak suka jengkol, "Tenggelamkan!"
Apabila produksinya 1.000 ton/tahun dan Debt to Jengkol ratio 30%, maka untuk melunasi utangnya sekaligus, Pemerintah perlu memungut pajak senilai 300 ton jengkol. Sisa 700 ton jengkol masih bisa dikonsumsi oleh rakyatnya.
Jika Debt to jengkol ratio makin tinggi, makin tinggi pula pajak yg mesti dipungut negara, dan makin sedikit jengkol yang bisa diolah rakyat jadi semur jengkol. Oleh karena itu, secara umum para ekonom atau investor melihat suatu negara semakin berisiko jika ratio tersebut makin tinggi.
Untuk negara jepang yang Debt to Jengkol rationya paling tinggi (238%), jika ingin melunasi utangnya sekaligus, maka seluruh produksi jengkol selama 2 tahun lebih harus diambil negara. Teganya 3x...
Lah terus rakyatnya makan apa? Ini yg menarik dari Jepang, pemerintah banyak berutang dari rakyatnya. Dengan demikian, pajak jengkol yang dipungut oleh pemerintah dibayarkan kembali kepada rakyaknya. Asik kan...
Kalau Indonesia ingin seperti itu, Kuys kita ramai-ramai beli Surat Utang Negara (SBN) atau Sukuk/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Yang retail juga ada loh. Supaya kita juga bisa turut menikmati hasil pajak jengkol yang dibayarkan pemerintah kepada pemilik SBN dan SBSN#PesanSponsor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H