Lihat ke Halaman Asli

Nikmatnya Menjadi Komisaris

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak setiap hari datang, tidak perlu berjibaku seperti karyawan tapi gajinya setengah dari Direktur Utama dan dapat tantiem lagi setiap tahun. Itulah pekerjaan yang banyak diidam-idamkan oleh sebagian orang. Tanpa keluar moda seperti pengusaha dan tanpa keluar cucuran keringat seperti pekerja. Cukup hanya lobi dan kedekatan.

Membaca headline Kompas hari ini, sedikitnya saya merasa usil atau mungkin lebih tepat dikatakan sirik. Ada sesuatu yang mengganjal dari ditunjukkan beberapa nama yang sekarang diangkat sebagai komisaris di beberapa BUMN sebut saja Rizal Ramli, Hendri Saparini dan Refly Harun. Kalau yang lainnya seperti Cahaya Dwi Rembulan, Sonny Keraf apalagi Diaz Hendropriono tidaklah mengherankan. Tapi Rizal, Hendri dan Refly? bukannya mereka para pengamat yang selalu kritis terhadap apapun kebijakan yang diambil pemerintah? Lalu kalau mereka sudah menjadi bagian dari kendali pemerintah apa artinya mereka berkoar-koar selama ini?

Pantas saja ketika Rupiah dan perekonomian makin terpuruk, biasanya para pengamat seperti Rizal dan Hendri ini termasuk orang yang sibuk menyerang pemerintahan.Kini kemana intelektualitas dan integritas mereka? Apakah harga jual idealisme dan integritas yang dicurahkan melalui pemikiran yang kritis  ini hanya seharga jabatan komisaris ?

Disisi lain mungkin inilah taktik simbiosis mutualisme yang akan terus dipakai oleh pemerintah dengan menyumpal suara-suara kritis masyarakat dengan jabatan yang isinya sudah barang tentu fulus untuk memuluskan kebijakan-kebijakan yang akan diambil.

Kita harus sadari bahwa kenyataannya tidak ada lagi pengamat ataupun politikus yang ideologis dengan pemikirannya, yang ada hanyalah orang-orang oportunis. Hanya mimpi jika mereka benar-benar bertindak untuk kepentingan masyarakat. Takkan pernah ada lagi tokoh yang tulus menyuarakan pemikirannya selain sebagai batu loncatan untuk mendapat kepentingan dan keuntungan pribadi semata.

Kalau ada pengamat yang sekarang masih berkoar-koar, mungkin mereka juga masih mencari modal dan muka untuk meniru pendahulunya. Mungkin jabatan-jabatan inilah yang selama ini menjadi incaran mereka.

Atau bisa jadi para pengamat ini mungkin saat ini sudah bosan menjadi pengkritik. Lebih enak dan nyaman menjadi komisaris dan bisa menjadi modal pensiun nanti dibanding luntang-lantung susah payah pindah studio hanya untuk berdebat untuk sesuatu yang tidak jelas tujuannya. Kecil pula honornya dibanding dengan tantiem komisaris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline