Lihat ke Halaman Asli

Kang Hens

Jurnalis

Membedah dan Membelah Dunia Pendidikan; Sebuah Upaya Akselerasi Kebangkitan Pendidikan

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Tahoma","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Calibri; mso-bidi-theme-font:minor-latin;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";}

Sebagai pembuka, saya haturkan salut untuk iB Perbankan Syariah. Karenanya, melalui berbagai inovasinya terus mengawal perjalanan bangsa ini menuju titik puncak kejayaannya. Sekaligus, iB pun telah sukses membetot gairah menulis ratusan orang untuk berbondong-bondong meluapkan isi hatinya termasuk saya tentunya. Dan tulisan ini pun dipersembahkan untuk menyambut gegap gempita itu.

Perguruan tinggi adalah tolak ukur pendidikan kita. Dari sinilah, panji-panji pembela bangsa akan muncul. Jika kampus mati, maka tunggulah sang Izrail menjemput detik-detik kematian bangsa kita. Dan Indonesia pun akan terperosok ke kubangan yang mengerikan, sebuah ketertinggalan. Nah, dengan demikian, membincang masalah pendidikan, maka berarti tak pernah lepas dari perbincangan dunia kampus dan yang sejawatnya.

Bagai jamur tertiban rintikan hujan, pertumbuhan jumlah perguruan tinggi tiap tahunnya terus meningkat. Di Indonesia, berdasarkan data yang diketahui penulis, lebih dari 2.000-an perguruan tinggi swasta dan ratusan perguruan tinggi negeri. Angka ini secara kuantitatif, jelas sangat menggembirakan. Karenanya, bisa jadi sebagai pertanda dan indikasi baik bahwa kualitas pendidikan di negeri ini makin melejit pesat. Bahkan, kampus-kampus terdepan di Indonesia, telah tercatat dan bertengger di jajaran kampus ternama di dunia, meskipun masih berada di urutan ratusan.

Setidaknya, perangai baik itu bisa memacu dan memicu pergerakan di tiap kampus secara opensif-massal untuk go international. Meski sebagai anak bangsa, saya sadar betul, untuk menuju ke arah itu, harus bertarung dengan ide dan peras keringat. Itu bukan hal yang mudah, meski jalan 'menganga' lebar!

Semangat itulah yang harus tetap terjaga. Sayang, rupanya gairah itu tidak dimiliki sebagian besar kampus di Indonesia. Dan satu hal yang memprihatinkan, ada semacam lelucon manis, bahwa perguruan tinggi di Indonesia seperti telah berubah wajah menjadi korporasi, layaknya perusahaan bisnis. Yang penting ada mahasiswa, keuangan kampus tercukupi, selesailah perkara. Padahal, pendidikan tidak sesimpel itu, ia adalah proses berkelanjutan yang tidak akan pernah berakhir. Bahkan, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya mencatat, sepanjang peradaban anak manusia, pendidikan adalah komponen kehidupan yang paling urgen. Demikian pula Plato dalam Republica-nya, hingga menjadikan falsafah idealism dalam pendidikan.

Sejatinya, perguruan tinggi adalah pencetak generasi bangsa yang handal. Perguruan tinggi secara tidak langsung bertanggungjawab pada kontinuitas dan survivalitas bangsa dari jeratan bangsa lain. Seharusnya, cita-cita luhur itu tetap terpatri erat di dinding-dinding setiap kampus. Banyaknya angka sarjana pengangguran, mahasiswa anarkis, jelas mengisyaratkan kualitas pendidikan pada bangsa ini masih harus dipertanyakan.

Masih segar dalam ingatan saya, Menteri Pendidikan RI, Prof Dr Muh. Nuh pernah berkata, di Indonesia masih banyak para pendidik yang hanya bisa mendidik secara kasat mata. Seorang dosen datang ke kampus, memberikan kuliah, paham atau tidak urusan mahasiswa yang penting mata kuliah terkejar. Dan, selesailah tugas seorang dosen. Padahal, masih menurut M. Nuh, keberhasilan seorang pendidik adalah manakala ia bisa menggunakan mata hatinya untuk mendidik. Karenanya, mendidik dengan mata hati jauh akan lebih berhasil daripada mendidik dengan mata telanjang.

Hal tersebut hampir senada dengan yang diungkapkan John Dewey, bahwa anak didik itu bukan hanya alat penerima ilmu tanpa melakukan gerak apapun. Justru sebaliknya, anak didik bisa proaktif. Karena disadari ataupun tidak, itulah fungsi pendidikan yang selalu bergerak maju (taqaddumiyah) sebagaimana diungkapkan Musthafa Abdus Sami' dalam Teknolojia at-Ta'lim.

Naquib al-Attas pernah mengatakan, setidaknya ada tujuh konsep dalam pendidikan. Pertama, konsep din (agama). Kedua, konsep insan (manusia). Ketiga, konsep ilmu dan makrifat. Keempat, konsep hikmah (kebijakan). Kelima, konsep keadilan. Keenam, konsep amal dan adab. Ketujuh, konsep kuliyyah jami'ah (perguruan tinggi). Pertanyaannya, sudahkah ketujuh konsep tersebut benar-benar diterapkan dalam dunia pendidikan kita?

Pola yang salah akan mengakibatkan hasil yang salah. Tak aneh, jika mahasiswa saat ini menjadi brutal dan miskin moral. Jika sudah begitu, kampuslah yang ketiban sialnya. Kampus tercoreng moreng dengan laku 'lucah' para mahasiswanya. Dalam bait ini saya hanya ingin menegaskan, bahwa kampus pun berperan untuk mengontrol perilaku para mahasiswanya. Minimnya pengawasan pihak kampus terhadap mahasiswanya, tak aneh jika sejarah mencatat, ada mahasiswa digrebek tengah mesum atau digeledah saat berminuman keras, narkoba dan lain sebagainya. Dan yang lebih memalukan, perilakunya itu sempat terekam media dan ‘mejeng’ di harian Lampu Merah, yang saat ini mengubah namanya menjadi Lampu Hijau. Dahsyat!

Bahkan, budaya hanya mengejar titel dan kertas ijazah pun masih menjadi benalu kelas kakap di dunia pendidikan kita. Jika catatan harian perguruan tinggi kita sudah begitu, maka harapan menuju kebangkitan pendidikan adalah nonsense. Mustahil! Itulah secuplik 'kisah romantis' dunia pendidikan kita. Seakan paras manis itu telah berbalut perban 'hipokritas'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline