Lihat ke Halaman Asli

Masih Bahagiakah Petani "Zaman Now"?

Diperbarui: 27 Mei 2018   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok. Pribadi)

Ngabuburit sore tadi saya gunakan untuk mengajak istri bersilaturahmi ke seorang teman yang tengah berbahagia dengan kehadiran jagoan yang keduanya. Mudah-mudahan menjadi anak yang sholeh, berguna, dan mendapatkan kebahagiaan di sini dan di akhirat sana. Amin

Setelah kami berkunjung ke rumahnya bersama istri dan anak tercinta tiba-tiba suara adzan Ashar menghentikan percakapan kami. Dan kami menyambutnya dengan gembira seraya bergegas menuju mushola. Momen ini kami manfaatkan saja untuk mengarahkan anak agar terbiasa sholat berjamaah. 

Memang mendidik anak itu tidak mudah. Butuh kerja keras, kesabaran, keuletan dan strategi khusus supaya anak-anak itu mau diajak beribadah. 

Dengan iming-iming nanti akan diajak ke curug setelah sholat. Alhamdulillah anakku mau ikut shalat berjamaah. Di desa kami ada beberapa obyek wisata, salah satnya curug sanghyang namanya. Kami memang tidak bermaksud membohongi sang anak. Walhasil setelah silaturahmi ke teman kemudian kami menyusuri jalan untuk menuju lokasi wisata budaya dan wisata alam yang ada di desa kami.

Sudah lama memang kami tidak datang ke sini lagi. Nampak di kanan kiri tanaman sayuran ternyata ada juga tanaman perdu buah-buahan. Sewaktu ke sini dulu masih belum kelihatan, sekarang kami lihat sudah berbuah. Ada jambu dan jeruk yang kami lihat. Mudah-mudahan ini juga menjadi salah satu sumber rejeki bagi warga desa. Selain dari pertanian berupa sayur-sayuran.

Jalan yang kami lewati tidak  semulus yang dibayangkan. Karena di tengah-tengah tanjakan motor ini tidak mampu menopang berat badan kami bertiga. Akhirnya mau tidak mau istriku harus mengalah turun. Kasihan banget memang. Baru saja menginjakka kaki di lokasi ini sudah harus kena musibah. Tapi raut muka sabar terpancar di wajahnya ini yang bikin saya tenang dan bahagia.

Oh iya saat menulis ini saya dan sang anak sedang berada di tengah sawah istilahnya, ngabuburit menunggu waktu maghrib sambil bertadarus juga mencari inspirasi dari alami yang indah dari pesawahan yang baru saja ditanami dengan sayuran bawang daun.

Saya memang sudah akrab dengan dunia pertanian, karena saya lahir di sini. Orang tua saya juga petani tulen. Hanya saja secara jujur saya belum begitu lihai dalam bertani sehingga walaupun diam di wilayah pertanian saya tidak otomatis terampil dalam bertani. Jadi saya hanya bisa nonton saja.

Saat di perjalanan tadi saya bertemu dengan bapak tani yang baru pulang dari berladang. Istri pun berkomentar betapa bahagianya seorang petani. Saya pun merespon bahwa memang dari wajahnya nampak bahagia. Begitulah emang petani itu harus bahagia.

Kenapa petani harus bahagia?
Dalam bahasa Arab petani itu disebut Alfallah. Derivasi kata ini sekar dengan seruan muadzin ketika hendak memanggil para kaum muslimin untuk sholat berjamaah. Hayya'alal Falah, marilah kita menggapai kebahagiaan dan keberuntungan.

Jadi hakikatnya petani itu memang mesti bahagia harus untung. Dan itu memang terjadi ketika jaman dulu, sebelum invasi kapitalisasi pertanian. Ketika para petani masih bercocok tanam normalnya dengan tiga musim, ada saatnya musim sayur dan ada masa menanam padi dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline