Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Mari Melihat Kasus Ari Askhara dengan Proporsional

Diperbarui: 12 Desember 2019   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ari Askhara. Gambar: Liputan6.com

Nama I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau lebih dikenal dengan panggilan Ari Askhara sedang hit-hitsnya, setelah Menteri BUMN, Erick Thohir membuka kasus motor Harley Davidson dan sepeda Brompton yang di bawa oleh pesawat Garuda baru dari Paris, Perancis.

Erick menyebut motor Harley Davidson yang disebut dibawa secara ilegal ini milik AA. Erick memang tak menyebut nama lengkap. Hanya inisial. Tapi, publik plus media langsung mengarahkan telunjuk, AA yang disebut Erick adalah Ari Askhara, Direktur Utama Garuda Indonesia. Dan, sebelum Erick mengumumkan itu, beberapa media memberitakan daftar penumpang yang naik pesawat Garuda pembawa Harley tersebut.

Dalam kesempatan itu Erick juga menegaskan, akan mencopot direksi yang terlibat dalam kasus Harley dan sepeda Brompton. Termasuk Direktur Utamanya. Sembari Erick menyarankan yang hendak dicopot sebaiknya mengundurkan diri, ketimbang diberhentikan.

Sejak saat itulah, Ari Askhara dihakimi. Segala tetek bengek menyangkut Ari Askhara dikuliti beberapa media. Tak hanya oleh media mainstream. Di media sosial Ari Askhara juga dihajar. Ari Askhara pun bak pesakitan yang divonis pasti bersalah tanpa ada ketuk palu putusan.

Ari Askhara, mungkin salah. Tapi menghakiminya dengan informasi yang masih sumir, apalagi berbau gosip dan fitnah, rasanya tak adil juga. Nyaris tak ada ruang bagi Ari Askhara membela diri. Atau sekedar mengklarifikasi. Ia kadung digebuk ramai-ramai.

Jika memang nanti dia bersalah. Ia pastinya harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Tapi menghakimi secara sepihak tak adil juga rasanya. Bagaimana pun, Ari punya andil dan peran memperbaiki kondisi Garuda yang selama ini selalu limbung bahkan hampir kolaps.

Yang miris, urusan pribadi Ari pun diumbar sedemikian rupa. Dijadikan alat untuk menggebuk. Bahkan, berbau gosip sekali pun. Sepertinya, budaya menghakimi tanpa lebih dulu mengklarifikasi sudah jadi hal yang biasa. Media sosial jadi alat efektif untuk menghancurkan seseorang. Tak peduli, dengan  fitnah atau gosip.

Lebih miris lagi, informasi berbau gosip bahkan juga mungkin fitnah yang diumbar oleh akun tak jelas di media sosial di sambar oleh media mainstream. Lebih ironis lagi, tanpa ada keberimbangan. Tanpa ada cek dan ricek. Yang penting bombastis. Dan sedang hot. Kalau begitu, apa bedanya media mainstream dengan koran kuning yang hanya umbar sensasi.

Padahal yang publik inginkan sebuah informasi yang bernas. Informasi yang berimbang. Dua pihak diberi porsi seimbang. Bukan satu pihak diberi panggung. Satu pihak lainnya disudutkan.  

Sebagai contoh, setelah Ari dihajar sedemikian rupa, muncul foto motor BMW berdampingan dengan pesawat Garuda. Publik pun langsung mempersepsikan, selain Harley, motor mewah lainnya juga kerap diselundupkan. Padahal, banyak yang tidak tahu Garuda itu kerja sama dengan BMW. Segmen Garuda dan BMW adalah kalangan atas. Foto itu mungkin saja, sebenarnya adalah strategi bisnis. Bukan gagah-gagahan. Karenanya isu-isu yang ada perlu diluruskan. Jangan sampai dimainkan menutupi isu lain.

Pun soal kekayaan. Jika Ari memang kaya, apa salahnya. Yang salah, jika kekayaan itu didapat dari cara yang salah. Dari korupsi. Dari main proyek. Atau dari fee pengadaan. Kalau kaya dari jalan yang benar, apa yang salah. Toh, Menteri BUMN pun kaya raya. Atau Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga jauh lebih kaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline