Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Sudahkah Hatimu Bebas Pungli?

Diperbarui: 8 Juli 2017   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berita soal operasi pungutan liar atau pungli,  akhir-akhir ini banyak memenuhi kolom koran dan kanal berita di media online. Adalah aksi bapak-bapak polisi dari kepolisian Jakarta yang menggrebek Kementerian Perhubungan yang membuat pungli melambung namanya. Presiden kita dan kamu, Bapak Jokowi kemudian ikut hadir menyaksikan itu.

Bahkan kemudian, Bapak Presiden mencanangkan sebuah operasi pemberantasan pungli. Sekali lagi, operasi pemberantasan pungli. Bukan operasi 'Petrus' ya. Jadi yakinlah tak ada aksi koboy tembak-tembakan. Tapi, nuwun sewu Pak Presiden. Tidakkah bapak tahu, bahwa ada pungli yang lebih berbahaya, daripada pungli di kantor kementerian, markas Samsat atau kelurahan. Pungli yang berbahaya itu, adalah pungli terhadap hak kami untuk mendapat ruang publik yang sehat. Ruang tempat kami bercengkrama dengan sesama. Ruang tempat kami mendapat serta menyemai cinta.

Ruang itu kini banyak dijejali praktek pungli. Praktek pungli yang membuat kami susah mendapat serta menyemai cinta. Pungli yang membuat kami akhirnya terpaksa menganggap perbedaan sebagai ancaman. Pungli yang membuat kami terpaksa pula harus menegaskan siapa kita dan bukan kita. Siapa kawan dan lawan. Siapa teman dan bukan teman. Bahkan kepada tetangga kami sendiri.

Lalu siapa yang memungli ruang publik kami? Mereka, para pemuka dan pemangku. Para elit. Para pemimpin. Merekalah yang memungli kami. Dengan kuasa, dengan otoritas, dengan jabatan dan pengaruh, mereka melakukan pungli.

Mereka produksi instrumen pungli dengan modus yang begitu canggih. Tidak terasa, tapi berdampak. Bukan rupiah yang mereka kutip. Bukan duit kami  yang mereka ambil. Tapi mereka mengambil cinta kami. Mengambil kasih sayang kami. Merampas rasa persaudaran kami.

Mereka memproduksi cara-cara bagaimana bermusuhan. Mereka jejali ruang kami dengan teknik ancam mengancam. Mereka ajari kami bagaimana memonopoli kebenaran. Mereka singkirkan tempat diskusi-diskusi kami. Mereka enyahkan meja tempat kami bercengkrama dan bicara. Mereka kuasai itu semua. Dan mereka ganti ruang kami dengan yang sumpek dan bau apek.

Ruang yang tadinya bisa untuk semua orang tanpa peduli latar belakang, mereka ganti dengan ruang yang hanya diperuntukkan bagi yang punya sikap seragam. Kami, kini kehilangan ruang, dimana perbedaan benar-benar adalah rahmat. Bukan ancaman. Apalagi sesuatu yang harus diringkas dan diringkus. Dienyahkan.

Mereka, para pemuka, pemangku, elit atau pejabat yang kami harapkan bisa memberikan cinta, justru menghadirkan amarah. Mereka memungli hak kami akan cinta yang mestinya gratis tanpa biaya. Mereka menyunat  hak kami  akan ruang publik yang damai, nyaman dan tenang. Mereka ganti dengan kegaduhan. Dengan hingar bingar. Dengan gerutu. Dengan sumpah serapah. Dengan kebenaran milik sendiri.

Cinta kami yang mereka pungli. Cinta yang harusnya diberikan dan disemai gratis. Kasih sayang kami yang mereka tilep. Kasih saing yang mestinya diungkap tanpa bayar.

Karena pungli itu,  kemudian hati kami jadi tuli. Rasa kami juga ikut tumpul. Kepekaan kian pudar. Dan, yang merasuk kemudian adalah rasa tamak. Rasa ingin selalu menang sendiri.

Kini yang tersisa di ruang kami, hanyalah permusuhan. Yang teronggok di pojok-pojok ruang kami hanya amarah yang menyala-nyala. Rasa silih asah, silih asuh, silih sapa, kini menghilang. Tak ada lagi penghormatan pada perbedaan. Yang ada, saling ancam. Saling kecam. Menganggap yang bersebrangan adalah lawan. Itu yang kini berserak di ruang hidup kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline