Hari masih pagi, ketika saya mampir ke sebuah warung kopi langganan saya, tak jauh dari perumahan tempat saya tinggal, di bilangan Sawangan, Depok. Suasana warung belum begitu ramai. Hanya ada dua pembeli yang lagi asyik memainkan gawainya. Di depannya sepiring roti bakar yang tinggal setengah tungkup. Segelas kopi hitam juga hampir tandas. Asap rokok mengepul dan meliuk-liuk lalu raib di udara.
Dua orang pembeli itu duduk berhadapan. Sama-sama memegang gawainya.Sampai kemudian terdengar satu orang bicara setelah menghembuskan asap rokok. " Kok sampai segitunya, ini gara-gara mendukung Ahok, ada nenek yang ditolak warga untuk disolatkan," katanya.
"Berita apa?"terdengar kawannya menimpali. Tampak ia mencondongkan badan ke arah teman nya.
" Ini berita warga yang tak mau mensolati seorang nenek gara-gara si nenek itu katanya mendukung Ahok," ujar temannya sambil memperlihatkan gawainya.
" Dimana itu?"kembali kawannya bertanya.
" Di Jakarta" jawab temannya.
Kawannya kembali menegakan badan. Di seruputnya kopi di gelas hingga tandas. Setelah melakukan menghembuskan asap rokok, terdengar dia berkata. Katanya, orang Jakarta, orang kota, kok pikirannya ndeso. Jika seperti itu, kata dia, mending enggak usah ada Pilkada. Bikin ruwet dan banyak mudharatnya. Bikin antar tetangga musuhan dan sesama teman seperti mau perang saja. Temannya diam saja.
"Saya jadi bingung, orang-orang maunya apa? Kenapa hanya gara-gara beda pilihan terus musuhan. Sampai mati pula musuhannya. Norak namanya," katanya lagi.
Saya terdiam mendengar obrolan itu. Tapi memang berita soal nenek yang ditolak di solati sedikit mengganggu pikiran saya. Lalu saya pun teringat obrolan serupa dengan beberapa kawan di ruang wartawan di Kementerian Dalam Negeri, sore kemarin sambil mengetik berita.
Seorang kawan sama jengkelnya begitu tahu berita si nenek malang itu. Bahkan saking jengkelnya, ia sampai berkata, " Itu orang yang menolak menshalatkan kayak sudah punya nomor telepon Tuhan saja, sudah tahu si nenek bakal masuk neraka," kata dia.
Mungkin karena emosi, omongan dia pun merembet kemana-mana. Katanya, kalau pun enggak mau menshalatkan jenazah, sekalian saja tolak jenazah orang yang berlagak orang alim tapi ternyata koruptor. Itu baru afdol, katanya. Sebab kata dia, mereka yang tampak seperti orang alim, bahkan seperti paling suci, suka ngutip ayat, tapi kemudian maling duit rakyat, itu yang sebenarnya telah menjual aqidah. Merusak agama dengan sadar." Orang seperti itu kan tahu agama, tapi mengkhianatinya. Dia sebenarnya yang layak ditolak. Orang seperti itu yang merusak agama. Apalagi kalau dia itu pejabat atau orang yang punya kuasa. Kewajiban dia kan memberi contoh baik, bukan menyodorkan perbuatan hina," katanya.