Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Turunlah, Selagi Tepuk Tangan Itu Masih Ada

Diperbarui: 12 Oktober 2015   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekuasaan memang menggoda. Karena lewat kekuasaan, tuah bisa digenggam. Lewat kekuasaan pula, hormat dan puja diproduksi.

Namun, kadang kekuasaan melenakan. Membuat lupa diri. Serakah pun muncul. Tamak datang tak bisa ditolak. Apalagi, bila kekuasaan itu terlalu digenggam tangan. Maka, benar kata Lord Acton, kekuasaan yang dikuasai lama, akan cenderung korup.

Kekuasaan pun pada akhirnya bukan bercerita tentang mandat. Namun, sudah jadi kisah tentang warisan turun temurun. Dari bapak ke anak. Atau dari suami ke istri. Dengan cara apapun, kekuasaan coba dilanggengkan.

Maka, kekuasaan bukan lagi soal kuasa rakyat. Tapi, tuah untuk diri sendiri dan kerabat. Kekuasaan pun dijalankan bukan untuk kemaslahatan bersama. Namun semata untuk menyenangkan keluarga. Mau apa lagi itulah yang terjadi. Kekuasaan yang diraih, seakan jadi milik pribadi. Dinasti pun tak terelakan. Menguat, dan terus menguat.

Suatu sore, saya sempat berbicang dengan Ali Akbar. Dia, pegawai di Kementerian Dalam Negeri, tepatnya di Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum. Dalam obrolan itu, ada sebuah kalimat yang diucapkan Akbar. Saya terkesan dengan kalimat yang diucapkannya. Katanya, turunlah selagi tepuk tangan itu masih ada.

Ya, kalimat dari Akbar itu sarat makna. Itu kalimat yang ditujukan bagi mereka yang sedang punya kuasa. Ada pesan di dalamnya, bahwa penguasa jangan sampai lupa daratan. Apalagi sampai lupa untuk turun. Karena, seorang itu akan dikenang bila ia berhasil meninggalkan jejak kerja. Maka selagi jejak itu masih berbekas, turunlah, sebelum cela menghapusnya.

" Andai misalnya Pak Harto (Soeharto) turun pada tahun 80-an, saya yakin ia akan dikenang dengan gemilang," kata Akbar.

Sayang, Pak Harto tak turun. Justru diujung kekuasaannya, ia mesti lengser dengan pahit. Pak Harto turun oleh desakan rakyatnya. Caci maki dan sumpah serapah pun menyertainya. Tentu bukan cerita pensiun yang indah. Tak ada tepuk tangan. Yang ada adalah hujatan.

Sayang seribu sayang, kata Akbar, sekarang yang menggejala, adalah kekuasaan yang sudah dianggap seperti warisan keluarga. Kekuasaan, tak lagi di lihat sebagai mandat. Tapi, kekuasaan laiknya harta benda, yang bisa diturunkan ke ahli waris. Maka, tak ada lagi kekuasaan sebagai jalan untuk bekerja. Tak lagi cerita, kekuasaan sebagai cara untuk meninggalkan jejak. Yang ada, hanya dongeng menyebalkan, kekuasaan seperti milik sendiri.

Karena itu pula, korupsi merajalela. Sebab kekuasaan bukan lagi sebuah amanah. Maka, jejak kerja pun nyaris tak ada. Kekuasaan pun bukan untuk khalayak. Tapi sudah dibajak jadi milik kerabat. Mau apalagi, itu yang terjadi di republik ini.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline