Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Langka, Pemimpin Seperti Kyai Gus Mus

Diperbarui: 4 Oktober 2015   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemimpin yang dipilih rakyat, bukanlah majikan. Dia hanya pelayan, pelaksana mandat. Maka, janganlah kemudian merasa jadi raja, atau bos, yang selalu ingin titahnya digugu tanpa dibantah.

Ada sebuah artikel menarik yang saya baca di situs blogspot.co.id tentang kepemimpinan. Dalam artikel itu, ada sebuah kata mutiara.

" Untuk memimpin diri sendiri gunakanlah rasio anda dan untuk memimpin orang lain gunakanlah hati anda,"

Saya sepakat dengan kata-kata mutiara itu. Memimpin dengan hati, itu yang diperlukan. Dan, memang itu pula yang langka di negeri ini hari ini. Banyak memang orang yang berstatus 'pemimpin'. Namun mereka masih bersikap seperti majikan. Bukan pemimpin yang melayani.

Perubahan yang lebih baik, memang tujuan dari seorang pemimpin. Karena tanpa perubahan, alhasil pemimpin akan dianggap tak meninggalkan jejak. Namun mencatatkan jejak yang akan dikenang sepanjang masa, bukan perkara mudah. Karena itu dibutuhkan seni dalam memimpin.

Pemimpin itu harus bisa menggerakan orang yang dipimpinnya. Namun, menggerakan bukan berarti dengan titah yang tak bisa dibantah. Tapi, bagaimana membuat orang yang dipimpin itu, berkembang, lalu berbuat dan melakukan perubahan secara sukarela.

Dengan ketegasan? Ya, itu yang diperlukan. Tapi, tegas bukan berarti menggebuk. Tegas dengan cara merangkul. Tegas menggunakan hati. Karena tegas dengan wajah yang angker, hanya akan membuat bawahan ketakutan.

Maka, tegas dengan wajah lembut yang akan menumbuhkan kepercayaan. Bukan tegas dengan cara kasar, yang hanya akan memicu perlawanan, ketidaksukaan, dan sakit hati. Padahal tugas pemimpin itu, bagaimana ia bisa membuat lawan menjadi kawan, bukan menambah musuh. Memang, tindakan seorang pemimpin pasti tak akan memuaskan semua orang. Namun yang penting, tindakan itu bisa dipahami, walau tak disepakati.

Karena itu memimpinlah dengan hati. Bukan dengan emosi. Memimpin dengan hati, lebih berpeluang jadi pemimpin yang dihormati. Tapi, memimpin dengan emosi, hanya akan melahirkan pandangan tentang sosok pemimpin 'bertangan besi'.

Maka dekatilah, mereka yang dipimpin dengan hati. Dengarkan. Dan jangan selalu terus disalahkan. Lalu gerakan mereka dengan hati pula. Jangan perintahkan mereka dengan omelan. Karena, walau tercipta kepatuhan, mungkin itu bersifat semu. Bukan kepatuhan tulus. Sebab, kepatuhan tercipta oleh sebuah ketakutan. Lebih baik, bangun kepatuhan dengan cara yang luwes, bukan langsung dengan 'gebukan'.

Bila terjadi masalah, jangan tergesa menyalahkan bawahan, atau pihak lain. Tapi, coba tanyakan pada diri sendiri. Intropeksi lebih baik, daripada emosi membabi buta. Andai benar, tegaskan dengan cara yang enak. Tak usah misuh-misuh atau marah-marah. Seperti dalam artikel yang saya baca itu. Sentuh hati orang lain dan orang lain akan dengan sukarela mengikuti anda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline