Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Merawat Dedikasi

Diperbarui: 27 September 2015   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Agenda kerja yang padat, harus dinikmati, anggap itu bagian dari hobi dan tugas," kalimat itu diucapkan seorang menteri. Dia bernama Tjahjo Kumolo, mantan Sekretaris Jenderal PDIP yang kini jadi Menteri Dalam Negeri. 

Ya, sebagai seorang menteri, jadwal kerja tentu padat. Tak seperti pegawai biasa, yang terpatok pada jam kantor, masuk pukul 8.00 pulang sekitar petang pukul 17.00 Wib. Lain menteri, lain pula pegawai biasa. Pun besaran kewenangan dan tanggung jawabnya, pasti berbeda. 

Kalimat itu saya baca sebagai sebuah dedikasi. Sebagai pembantu Presiden, yang punya ritme kerja cepat, waktu luang mungkin tersisa tinggal secuil. Dedikasi pada mandat sangat penting, karena itu sedikit banyak yang akan menentukan hasil kerja. Tak perlu lagi ada keluhan, ketika mandat telah diterima. Segala konsekuensi mesti dinikmati dan dirasakan. Maka, Tjahjo mengatakan, nikmati saja, anggap itu bagian hobi dan tugas. 

Memang harus seperti itu. Bila sebuah amanat atau mandat dianggap beban, tentu itu tak akan bisa dinikmati. Karena, pekerjaan yang tak dinikmati, apalagi tak dianggap hobi, itu sebuah dera siksaan. Alhasil, setiap jadwal yang padat, adalah beban. Dan tugas pun, hanya jadi rutinitas formal. Sebab tak dinikmati, tak dianggap sebagai hobi. Bila seperti itu jangan harap dedikasi akan muncul. Padahal, ketika dedikasi muncul dan tumbuh, disiplin serta tanggungjawab akan menyertai. Loyalitas pun bakal terbangun. 

Namun saya berharap, Tjahjo menikmati itu semua semata karena ia mesti bekerja untuk rakyat. Karena posisi yang diberikan memang untuk melayani rakyat. Bukan diri sendiri, bukan pula untuk kelompok atau orang per orang. Sehingga kemudian mandat yang dipegang bukan untuk menyenangkan segelintir orang, apalagi demi membayar utang budi. 

Kepada rakyat, utang kerja harus dibayarkan. Kepada negara, semua diberikan. Meski harus diakui, selalu saja ada syakwasangka memandang jabatan politik yang dipegang seseorang. Jabatan itu banyak dituding tak lebih sebagai alat politik dengan konotasi sempit, semata demi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Semoga bukan itu. 

Inilah kesempatan emas bagi Tjahjo untuk meninggalkan warisan. Meninggalkan legacy yang bermanfaat bagi khalayak. Karena lewat itu, jejak seorang politisi akan awet dicatat sejarah. Tanpa legacy, jejak politisi pun hanya sambil lalu. Hadir sesaat lantas dilupakan. 

Selamat merawat dedikasi Pak Tjahjo sampai ujung batas pengabdian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline