Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Kisah Pemimpin yang Siap Salah, Lalu Minta Maaf

Diperbarui: 21 September 2015   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 482.3/4439/SJ tentang Penyesuaian Prosedur Kunjungan Jurnalistik ke Indonesia, menjadi polemik, karena menuai protes dari para penggiat Hak Asasi Manusia serta kalangan pers. 
 
Surat itu sendiri, dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri, melalui Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum. Surat ditujukan kepada seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Salah satu yang diatur dalam surat itu adalah tentang tata prosedur peliputan yang dilakukan jurnalis asing. Salah satunya yang diatur, jurnalis asing yang hendak melakukan peliputan, mesti mendapat izin dari Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing Kementerian Luar Negeri dan Ditjen Politik Kemendagri. 

Usai memberi kata sambutan dalam acara Launching Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dn Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI), Kamis, 27 Agustus 2015, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo kembali menyinggung surat edaran tersebut. Menurutnya, surat itu lahir dari hasil telah  Ditjen Politik Kemendagri dengan BIN dan Bais.  

" Wartawan asing jangan lihat dia wartawan, disakunya itu apa, intelkah dia? Harus clear, apa lagi dia masuk ke daerah rawan. Tapi wartawan Indonesia enggak ada masalah," kata Tjahjo.

Surat edaran sendiri kata Tjahjo, berlaku di seluruh Indonwsia. Intinya, jurnalis asing yang mau melakukan aktivitas jurnalistik di Indonesia harus clear dulu. 
" Kita konsultasi dengan Menkopolhukam. Jangan sampai dia ternyata intel," katanya. 
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu organisasi tempat para jurnalis berhimpun mengecam surat edaran Mendagri tersebut. Ketua Bidang Advokasi AJI, Iman D Nugroho, menegaskan surat edaran Mendagri, isinya tak ramah kepada jurnalis. Dan justru isinya bertentangan dengan apa yang sudah disuarakan Presiden Jokowi, bahwa Indonesia tak akan lagi tertutup bagi jurnalis asing. Termasuk ketika hendak meliput di Papua. Bahkan kata Iman, surat Mendagri melebihi apa yang sudah diatur sebelumnya. Sebab sekarang, jurnalis asing yang hendak meliput ke Indonesia, mesti lolos clearing house dulu.
" Dulu itu, clearing house hanya yang hendak ke Papua saja. Sekarang seluruh Indonesia, " kata Iman. 

Iman pun melihat surat Mendagri bertentangan prinsip kebebasan pers. Selain itu juga bertentang dengan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ia pun mempertanyakan motif dari surat tersebut. 

Ketua Umum AJI, Suwarjono juga sependapat. Surat Mendagri membuat kebebasan pers Indonesia makin terancam. Sebab, para jurnalis tak lagi bebas menjalankan aktivitas jurnalistiknya. Padahal, tahun 2017 nanti, Indonesia akan menjadi tuan rumah perayaan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia. Ia pun minta surat itu dicabut. Resistensi juga datang dari Imparsial. Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarty juga meminta surat edaran Mendagri dibatalkan. 

Tak lama berselang, Menteri Tjahjo kembali mengeluarkan pernyataan persnya. Menteri Tjahjo mengaku, dirinya sudah menelpon langsung Presiden Jokowi untuk menjelaskan tentang surat edaran yang dikeluarkannya. Bahkan, ia mengaku sudah meminta maaf. Ia mengaku salah telah mengeluarkan surat edaran yang menuai protes dari banyak kalangan.
" Saya tadi telepon Bapak Presiden, minta maaf atas kesalahpahaman terkait surat edaran tersebut," ujarnya.
Kata Tjahjo, ia mengeluarkan surat edaran itu berangkat dari sebuah niat baik. Namun sebagai Mendagri, ia tentang harus bertanggung jawab atas surat yang menuai kontroversi tersebut. Maka, ia pun langsung menelpon Presiden untuk meminta maaf.
" Sebagai Mendagri siap salah dan menyampaikan maaf kepada Bapak Presiden dan siap salah," kataya.
Dan Tjahjo pun menegaskan, hari ini juga surat edaran tentang jurnalis asing akan dicabut. " Kami siapkan surat pencabutan surat edaran tersebut,"kata Tjahjo. 
Selain menelpon Presiden, Tjahjo juga mengaku telah menelpon Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Kepada Menlu, ia juga menjelaskan surat edaran hasil telah Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri. 
" Bukan salah Dirjen Politik kami tapi salah saya sebagai Mendagri. Saya yang bertanggungjawab," katanya.

Kisah minta maafnya Mendagri pun jadi pembicaraan di kalangan wartawan yang biasa meliput di Kementerian Dalam Negeri. " Nah, begitulah seorang pemimpin, siap salah," kata seorang pemimpin.

Saya sendiri cukup salut dengan sikap terbuka Mendagri. Sebagai 'komandan' sebuah lembaga, ia mengambil alih tanggung jawab. Ya, ibarat seorang panglima, dia ikut bertanggung jawab atas 'kesalahan' anak buahnya. Tak lantas kemudian dia cuci tangan. Dan, dia pun minta maaf bahkan langsung disampaikan ke bos. Bahkan juga disampaikan juga ke publik.

Sikap legowo, menerima kesalahan, lalu tak sungkan minta maaf, inilah yang mungkin menghilang di kalangan elit. Banyak pemimpin merasa paling hebat. Lalu, ketika terjadi masalah di bawah, ia lempar tanggung jawab. Dan anak buah yang jadi kambing hitam. Kisah Menteri Tjahjo, hanya membalikan pameo yang berlaku saat ini, bahwa bos tak pernah salah dan enggan meminta maaf. Salut pak...

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline