Petang, 30 September 2009, bagi Herman, seorang pegawai negeri sipil di Kota Padang, Sumatera Barat, seperti mimpi buruk dan ia selalu mengingatnya dengan bergidik. Saat itu, ia sedang menyapu dan beres-beres di dapur rumahnya. Istrinya sedang keluar dengan tiga anaknya yang lain. Di rumah, hanya ada dia dan anaknya yang paling besar.
Tiba-tiba, dinding rumah bergoyang dan berderak. Perabotan rumah tangga di dapur terbanting kemana-mana. Lantai bergerak dan bergelombang, seperti ada ada ular raksasa sedang meliuk, bergerak-gerak di bawah lantai. Ia kaget bukan kepalang, pikirannya cepat menerka, gempa sedang mengguncang. Suasana makin mencekam, apalagi listrik langsung mati. Suasana dalam rumah jadi remang gelap.
Ia berteriak memanggil anaknya, yang sedang ada di tengah rumah. Anaknya berlari ke dapur. Dan ia bersembunyi di bawah meja bersama anaknya dengan tubuh gemetaran. Lantai rumah masih terus bergerak-gerak, bibirnya gemetar mengucap doa, sakratul maut serasa sudah begitu dekat.
" Saat itu saya sedang menyapu di dapur. Di rumah hanya ada saya dan anak saya yang paling besar," kata Herman, saat menuturkan kembali kisah 'horornya' pada saya.
Maret lalu, saya sempat berkunjung ke Kota Padang mengikuti kunjungan kerja Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. Gamawan sendiri sebelum jadi menteri adalah Gubernur Sumatera Barat. Saat gempa terjadi, Gamawan masih menjabat sebagai gubernur. Dan, Herman kebetulan menjadi supir yang mengantar saya, selama ada di Padang.
Saat mengantar jemput itulah, Herman menceritakan kembali kisah mencekam, ketika gempa mengguncang Kota Padang, September 2009.
" Tiba-tiba, lantai yang bergelombang itu retak dan air menyembur membongkar lantai, saya panik dan ketakutan," kata Herman.
Dengan gemetar, di bawah lindungan meja, Herman dan anaknya hanya pasrah. Gempa bagi Herman, sebenarnya sudah hal biasa selama ia tinggal di Padang. Sebab sebelumnya juga sering terjadi goncangan lindu. Tapi guncangan gempa pada akhir September itu lain dari biasa, getarannya membuat ia seperti sudah di ujung maut.
" Selama saya rasakan gempa, baru kali ini saya sangat gemetaran dan takut luar biasa," katanya.
Selama gempa mengguncang, ia sudah pasrah dan hanya bisa berdoa, sambil menangis. Kematian terasa begitu sangat dekat. Sampai akhirnya, guncangan berhenti. Setelah dirasa aman, dan ia merasa yakin gempa berhenti, baru ia keluar dari meja. Lalu, setengah sadar ia bersujud, dan mendekap anaknya.
Ia tak menyangka akan selamat. Dan rumahnya tak ambruk. Padahal, selama ada di bawah meja, ia sudah pasrah bila rumah ambruk dan menimpanya.