Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Andai Indonesia Seperti Jerman

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini, mungkin Undang-undang yang paling menyita perhatian adalah UU Pemilu. Regulasi itu kini tengah direvisi oleh parlemen. Di targetkan akhir Maret ini kelar. Tapi sampai mendekati tenggat target, pembahasan masih alot.

Dulu sekitar tahun 1955, parlemen pun punya kisah tentang perdebatan yang alot menguras energi. Kekuatan terpolarisasi dalam tiga blok ideologi politik, yaitu kelompok nasionalis, agama dan komunis.

Masyumi menjadi representasi terbesar dari kekuatan politik agama saat itu, lalu PNI sebagai kelompok nasional. Dan PKI wakil dari komunis. Masing-masing kekuatan politik di parlemen berdebat dengan dasar dan argumen yang jelas, yaitu ideologi. Konsepnya jelas atas nama ideologi.

Maka yang terjadi adalah perdebatan keras dan alot, hingga konstituante pun makrak. Dan kemudian sejarah mencatatkan, dekrit presiden Soekarno, menghentikan itu, yang menandai lahirnya demokrasi terpimpin yang juga tak bertahan lama digantikan demokrasi ala rezim orde baru.

Tapi kini, ketika irama politik lebih pragmatis, kompromi mestinya lebih gampang dicapai. Karena tak ada lagi perdebatan yang begitu ideologis. Sayang, perdebatan berputar-putar, bahkan nyaris tanpa konsep yang jelas. Dalam RUU Pemilu misalnya, yang kini terancam molor.

Kemarin, saya sempat berbincang dengan August Mellaz, di Mellys Cafe, sebuah kafe kecil di pojokan Jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat. Saya kenal August karena sering saya pakai sebagai narasumber berita. August adalah Peneliti Senior di Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), sebuah lembaga kajian yang fokus pada masalah kepemiluan.

Di kafe itu, August sering nongkrong. Dan memang kafe itu, kerap menjadi tempat ngumpulnya para aktivis LSM, dan juga wartawan untuk sekedar ngopi dan minum bir. Harganya memang cukup terjangkau, tak heran bila kafe itu selalu ramai jika malam tiba.

August sendiri, mengaku sering mengingkuti rapat pembahasan RUU Pemilu, baik di tingkat Panja maupun Pansus. Dan ia mencatatkan, perdebatan antar fraksi tak sekeras yang di bayangkan orang.

" Enggak seperti tahun 55-lah. Tahun 55 kan perdebatan keras karena jelas yang didebatkan itu basisnya ideologi," kata dia.

Ia juga melihat perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu yang ia rekam dari rapat-rapat yang ia hadiri, tak tertangkap ada konsep yang jelas dibalik argumen-argumen yang diungkapkan. Fraksi-fraksi hanya mengungkapkan garis besarnya saja, tidak dengan sebuah konsep yang detail. Memang ada beberapa yang coba menyertainya dengan detail-detail konsep.

" Ya begitulah, misalnya fraksi Demokrat mendapat giliran mengemukakan pandangannya, lalu setelah itu fraksi PPP. Ya rata-rata garis besarnya saja. Misal soal pembatasan dana kampanye, palingan itu harus akuntabel, transparan. Tapi soal komponen mana yang paling harus dibatasi, tak begitu jelas," tuturnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline