Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Indonesia Sepi Suara yang Menginspirasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1330857648257072445

[caption id="attachment_174825" align="aligncenter" width="425" caption="Ilustrasi/Admin (Shutetrstock)"][/caption] “Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” kalimat itu pernah tercatat dalam sejarah. Soekarno, sang proklamator yang melontarkan kalimat ‘bertuah’ itu yang hingga sekarang tak lekang oleh zaman, kerap di kutip untuk membangkitkan inspirasi. Dan sejarah republik, mencatatkan setiap kata yang dilontarkan dari mulut tokoh yang ketika itu ada di panggung kekuasaan, tak sekedar opini yang menggaduhkan publik. Tapi opini berhasil menyihir publik, dan dicatat sebagai kata yang inspiratif. Namun kini, ironisnya ketika sudah puluhan tahun Indonesia menikmati alam kemerdekaan, kata-kata atau opini yang keluar dari mulut elit, alih-alih dicatat sebagai kata yang penuh tenaga inspirasi, namun justru membuat bising telinga. Panggung pun gaduh dan riuh. Indonesia pun kian sepi dengan suara-suara yang menginspirasi. Pekan kemarin, saya menghadiri acara penganugerahan Charta Politika Award, di gedung Usmar Ismail, di Jakarta. Dalam acara Charta Politika Award itu, Yunarto Wijaya, Direktur Riset Charta Politika, menyindir tentang betapa sepinya suara-suara menginspirasi di Indonesia. Panggung kekuasaan, kini sepi suara yang menginspirasi. Padahal kran demokrasi terbuka lebar, dan tak lagi ada mesin pembungkam saat negeri masih dicengkram kekuasaan otoriter. Namun, era reformasi justru sepi dengan suara yang menginspirasi. Elit yang sedang manggung hanya membuat bising dan gaduh. Menurut Yunarto, ajang Charta Politika Award sendiri diberikan pada tokoh yang dianggap pemuka opini. Namun bukan opini yang membuat telinga bising. Bukan pernyataan yang memekakan. Lewat tracking media, semua statemen dari tokoh coba di kaji dan ditelaah. Mana yang tonenya negatif dan positif. Suara dari politisi, kepala daerah dan pejabat semua coba di rekam. “Kita uji mana yang bising. Mana yang noise dan voice,” ujar Yunarto. Namun dalam penilaiannya, era reformasi yang membuka gerbang kebebasan beropini, justru masih minim menghasilkan suara yang menginspirasi. Padahal di era reformasi, media massa betul-betul diberi ruang untuk menjadi salah satu pilar keempat demokrasi. Sayang, masih tak tertangkap suara-suara bertuah seperti yang pernah dilontarkan Soekarno. Harusnya, di era reformasi, dimana panggung bersuara lebih lapang dan lega, tertangkap suara-suara yang penuh inspirasi. Opini berbobot mestinya bisa dicatat benak, setelah usainya sebuah orde yang mengekang. “ Ironis memang, ketika orde baru politik diungkapkan dengan berbisik. Tapi di masa reformasi justru politik begitu berisik, “ ujar Yunarto. Kebisingan, kata Yunarto banyak berasal dari panggung politik.Bisingnya panggung politik itu pula yang melahirkan kian menguatnya apatisme politik di tengah khalayak. “ Sekarang sangat disayangkan, masyarakat, dan anak muda hanya mengingat dan mendengar politisi noise, seperti ngeri-ngeri sedap, dan masuk tuh barang,” katanya. Sindiran Yunarto itu ditujukan langsung ke politisi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, yang memang dikenal dengan ungkapan khasnya : ngeri-ngeri sedap, dan jadi tuh barang. Bagi Yunarto, ungkapan itu sama sekali tak memberi inspirasi. Hanya menambah bising dan memekakan telinga. “ Ada yang  katakan, politisi harus seperti tikus. Ada yang katakan pembangunan gedung DPR, hanya dimengerti elit. Jadi agak agak sulit membaca inspirtasi dari politik yang bising itu,” ujarnya. Kali ini, Marzuki Alie, Ketua DPR yang disindir Yunarto. Marzuki memang sempat melontarkan pernyataan tentang pembangunan gedung DPR itu hanya di mengerti oleh elit. Padahal ketika itu, pembangunan gedung baru DPR tengah di sorot dan dihujani kritik, karena diangap tak peka dengan keadaan rakyat yang masih berkesusahan. Tak ada lagi, kata Yunarto, kalimat penuh makna seperti jangan sekali-kali melupakan sejarah, seperti yang di lontarkan Soekarno, presiden RI pertama. “ Atau Bung Hatta, yang mengatakan, aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas, ”katanya. Sayang, kata Yunarto, di era kebebasan bersuara, justru Indonesia kian sepi dengan suara-suara yang menginspirasi. Sulit rasanya di panggung yang bising, lahir tokoh sekelas Soekarno, Hatta, Gandhi, atau John F Kennedy. Padahal suara-suara yang menginspirasi itu dibutuhkan untuk kehidupan politik yang lebih baik dan beradab. Bukan panggung  demokrasi yang penuh dengan caci maki dan cercaan. " Memang, democracy is not perfect, seperti kata mendiang John F Kennedy, tapi mestinya masih ada yang bisa dicatat sebagai inspirasi. Sayangnya itu masih begitu sepi,” katanya. Tak hanya Yunarto, yang mengeluhkan tentang gaduhnya panggung politik. Wakil Ketua Umum PBNU, KH Slamet Effendi, juga merasakan hal yang sama. Slamet merasa situasi politik  yang ada sekarang ini lebih banyak gaduh dan bisiang. Sayang bising dan gaduhnya panggung politik, kata Slamet, sama sekali tak menyentuh subtansi. Lebih banyak mengumbar isu-isu yang membingungkan masyarakat. " Dan sama sekali tak tertangkap adanya  komitmen membangun sistem yang lebih baik. Masing-masing elit sibuk dengan kepentingan jangka pendeknya,” keluhnya. Sepertinya bukan hanya Yunarto, atau Slamet Effendi yang jengah melihat panggung politik di tanah air yang bising, tapi mungkin banyak rakyat yang juga merasa berisik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline