Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Pak Menko Sepertinya Tak Akan Naik Kelas

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kenal dengan Pak Hatta Rajasa? Pasti banyak yang kenal. Bapak dengan ciri khas berambut putih ini, bukan orang sembarangan. Ia adalah pejabat penting di negeri ini. Jabatannya mentereng dan strategis sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, yang mengkoordinasikan menteri-menteri di bidang ekonomi, keuangan dan industri. Bisa dikatakan, Pak Hatta ini dengan jabatannya, menjadi salah satu tangan kanan presiden. Ya, orang kepercayaan Presiden SBY.

Bahkan Pak Hatta ini, orang yang bisa dikatakan sangat dekat dengan keluarga Presiden SBY. Ia bagian dari keluarga Cikeas. Lho kok bisa? Ya bisalah, karena Pak Hatta ini besannya Presiden SBY, setelah putrinya Siti Ruby Aliya Rajasa, dinikahi putra bungsu Presiden SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono, pada 24 November 2011. Jadi Pak Hatta ini adalah bapak mertuanya Mas Edhie. Pak Hatta juga dulu waktu Pak SBY mau maju gelanggang pemilihan presiden pada 2009, dipercaya sebagai ketua tim suksesnya. Terbukti berhasil, karena Pak SBY yang ketika itu berduet dengan Pak Boediono, bisa mengalahkan pasangan pesaingnya yaitu Ibu Mega yang berpasangan dengan Pak Prabowo dan Pak Jusuf Kalla yang bertarung di Pilpres bersama Pak Wiranto.

Nah, usai Pak SBY menang, lalu dilantik,  nama Pak Hatta masu dalam jajaran kabinet. Oleh sang besan, Pak Hatta ini di dapuk jadi Menteri Sekretaris Negara, sebelum kemudian jadi Menteri Perekonomian. Waktu itu, Pak Hatta belum besanan dengan Pak SBY, karena putrinya masih dalam tahap pacaran dengan Mas Ibas, panggilan dari Edhie Baskoro Yudhoyono, putra bungsu kesayangan Pak SBY dan Ibu Ani.

Dari ketua tim sukses, lalu jadi menteri, Menko pula, bisa dikatakan Pak Hatta naik kelas. Di partainya, Partai Amanat Nasional, Pak Hatta juga berhasil naik kelas, dari Sekjen menjadi Ketua Umum, menggantikan Mas Soetrisno Bachir. Nah, lewat PAN yang kini dipimpinnya, Pak Hatta sedang meretas ambisi, mau seperti sang besan, berkantor di Istana, menjadi Presiden. Jadilah oleh PAN, Pak Hatta dipromosikan kemana-mana sebagai bakal calon presiden. Partainya Pak Hatta sendiri, waktu Pilpres 2014, berhasil mencalonkan Pak Amien Rais sebagai capres. Tapi Pak Amien yang kala itu berpasangan dengan Pak Siswono Yudhohusodo, gagal maju ke putaran dua. Pak Amien dan Pak Siswono dikalahkan oleh Pak SBY, yang kemudian jadi bosnya Pak Hatta. Saat itu, Pak SBY berduet dengan Pak Jusuf Kalla.

Namun, saat ini maju sebagai capres bukan perkara mudah. Partai yang mau mengusung, mesti mampu lolos syarat presidential treshold, yakni 20 persen kursi di DPR atau 25 suara nasional. Maka, kalau PAN gagal memenuhi itu, pencalonan Pak Hatta sebagai capres akan berat. Makin berat lagi, bila suara PAN itu jeblok. Bisa-bisa pencapresan besan Presiden itu gagal. Apalagi, kalau melihat hasil sigi lembaga survei, elektabilitas PAN tak kinclong-kinclong amat. Misalnya, dalam survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), yang dilansir pada Kamis, 3 April 2014, elektabilitas partainya Pak Hatta tak juga membaik. Partainya Pak Hatta dalam survei lembaganya Mas Saiful Mujani, ada di urutan 9 dari 12 partai peserta pemilu.  Urutan PAN itu didapatkan, setelah SMRC melakukan simulasi surat suara dengan pertanyaan partai mana yang akan dipilih bila pemilu digelar sekarang. Dari simulasi itu, yang mendukung partainya Pak Hatta hanya 4,1 persen. Bahkan, partainya Pak Hatta ini, masih kalah oleh partainya Cak Muhaimin Iskandar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partainya Cak Muhaimin ini, malah bertengger di posisi lima dengan tingkat dukungan 8,5 persen. sementara partai sang besan, Demokrat ada di urutan empat dengan dukungan 9,9 persen. survei SMRC sendiri dilakukan pada 26-29 Maret 2014, dengan melibatkan 2.050 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Maka, kalau hanya meraih 4 persenan, tentu masih jauh dari syarat presidential treshold yang mensyaratkan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen raihan suara secara nasional. Dari 4 persen sampai ke 25 persen, wah rasanya berjarak jauh. Tidak hanya partainya yang bisa dikatakan jeblok, elektabilitas Pak Hatta juga satu nasib. Diantara capres yang ada, elektabilitas Pak Hatta masuk kategori minim. Elektabilitasnya rendah. Hal itu terekam dalam hasil sigi yang dilakukan Charta Politika. Elektabilitas Pak Hatta, dalam survei Charta Politika, ibaratnya, seperti jauh jarak  bumi dengan langit, bila dibandingkan dengan elektabilitas yang dipunyai Mas Joko Widodo atau  Mas jokowi, capresnya PDI-P. Mas Jokowi, dalam surveinya Charta meroket jauh. Elektabilitas mantan Wali Kota Solo bertubuh kerempeng ini, jauh meninggalkan pesaing terdekatnya.

Tapi tenang saja, Pak Hatta masih punya peluang untuk jadi cawapres. Sebab sebagai ketua partai, Pak Hatta ini punya 'kekuatan' untuk mengarahkan kemana nanti suara PAN akan diberikan. Misalnya, PDI-P yang nyalonin Mas Jokowi itu dalam pemilihan legislatif, hanya meraih 20 persen suara, kekurangannya bisa ditambal oleh raihan suara PAN, agar bisa genap jadi 25 persen, sesuai dengan persyaratan presidential treshold. Nah, konsesi atau barternya, Pak Hatta bisa mendampingi Mas Jokowi, sebagai cawapres. Begitu juga misalnya bila Golkar, raihannya kurang dari 25 persen. Tentu Pak Hatta dengan partainya bisa merapat ke beringin, biar bisa membantu Pak Ical bisa maju dalam Pilpres. Bantuan tentunya tak gratis. Apalagi ini soal bantu membantu membentuk koalisi partai. Posisi cawapres Pak Ical, bisa di isi Pak Hatta, bila misalnya PAN ini mau berkongsi dengan beringin.

Pun kalau partainya Pak Hatta bekerjasama dengan partainya Pak Prabowo, Partai Gerindra. Pak Prabowo ini kan sedang ngebet-ngebetnya, mau maju sebagai capres. Nah, ambisi mantan komandan jenderal Kopassus itu bisa terganjal bila Gerindra raihan suaranya tak signifikan. Biar Pak Prabowo bisa maju, kekurangan suara Partai Gerindra bisa ditambal dari suaranya PAN. Dan, sebagai imbalannya, Pak Hatta bisa saja didapuk sebagai cawapresnya Pak Prabowo. Karena kalau dari sisi elektabilitas, Pak Prabowo ini adalah capres pesaing terkuatnya Pak Jokowi. Di berbagai hasil sigi, Pak Prabowo selalu ada di urutan dua, setelah Pak Jokowi.

Tapi, itu bukan perkara mudah. Sebab Pak Hatta juga harus bersaing dengan ketua umum partai lain, yang juga punya ambisi mengincar posisi cawapres. Meski banyak disebut, duet Prabowo-Hatta cukup layak diusung, tapi yang mendekati Gerindra juga lumayan banyak. Salah satunya adalah Pak Suryadharma Ali, Menteri Agama yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan, Pak Suryadharma Ali yang notabene kolega Pak Hatta di kabinet, sudah rantang runtung secara terang-terangan dengan Pak Prabowo, dengan hadir langsung saat Partai Gerindra kampanye di Senayan.

Tidak hanya hadir, Pak Suryadharma yang kala itu tampil dengan jas hijau kebesaran PPP, secara terang-terangan memuji Pak Prabowo. Kata Pak Menag ini, Pak Prabowo layak memimpin Indonesia. Siapa yang akan dipilih jadi kawan duetnya Pak Prabowo, sepertinya antara Pak Suryadharma Ali dan Pak Hatta harus bersabar dulu, menunggu hasil penghitungan suara pemilu legislatif. Boleh jadi, justru partainya Pak Hatta yang akan moncer di pemilu legislatif nanti. Dan, bila itu yang terjadi, ambisi Pak Hatta untuk naik kelas jadi presiden, terbuka lebar. Tapi, bila jeblok, terpaksa bila tak jadi cawapres, mungkin Pak Hatta masih punya kesempatan kembali ke kabinet dari pemerintahan yang baru. Namun, resikonya kembali jadi menteri, alias tetap dikelas yang sama.

Namun, kalau melihat hasil sigi, rasanya sulit bagi Pak Hatta untuk naik kelas. Di surveinya Charta Politika,  elektabilitas Pak Hatta dan PAN tak juga mengkilap. Dalam hasil sigi yang dilakukan lembaga riset politik yang dikomandani Mas Yunarto Wijaya ini,  nilai jual PAN dan Pak Hatta juga terbilang rendah.

Pada Rabu, 26 Maret 2014, Charta Politika, melansir hasil surveinya. Launching hasil survei disertai dengan diskusi yang menghadirkan wakil partai, yakni Mas Maruarar Sirait dari PDI-P, Mas Indra J Piliang mewakili Golkar, dan Kang Saan Mustofa wakil dari Partai Demokrat. Saat diskusi, wajah Mas Maruarar terlihat selalu sumringah, maklum jagoannya, Mas Jokowi di surveinya Charta Politika, bertengger di nomor satu. Begitu juga, dengan elektabilitas PDI-P. Di survei Charta Politika, elektabilitas banteng memang mentereng, ada di urutan nomor satu.

Yang terlihat cukup muram itu, adalah wajah Kang Saan. Politisi asal Karawang itu, terlihat gundah, melihat hasil survei Charta Politika. Partai Demokrat, tempat ia bernaung, elektabilitasnya melorot. Padahal, pada 2009, Demokrat begitu digjaya, sampai kemudian bisa memenangi pemilu legislatif kala itu. Tapi kini, posisi Demokrat, disalip Golkar dan PDI-P. Bahkan, diancam Gerindra. Wajar bila wajah Kang Saan tak seperti rautnya Mas Maruarar, karena bisa jadi di pemilu 2014, status sebagai jawara pemilu akan ditanggalkan.

Untungnya saat acara itu, tak ada penanggap yang mewakili PAN, partainya Pak Hatta. Padahal Charta Politika itu, dulu komandannya adalah Mas Bima Arya Sugiarto, yang kemudian masuk PAN dan terpilih sebagai Wali Kota Bogor dalam Pilwakot beberapa waktu yang lalu. Jika ada wakil dari PAN, entah itu Mas Bima atau siapa, wajahnya mungkin tak sesumringah Mas Maruarar, tapi sama muramnya dengan raut Kang Saan.

Sebab, dari hasil sigi Charta Politika, elektabilitas PAN, terbilang jeblok. Lewat pertanyaan terbuka, didapatkan hasil partai-partai pilihan responden yang dilibatkan dalam survei Charta Politika. Urutan pertama adalah PDI-P, dengan raihan tingkat dukungan sebanyak 18,8 persen. sementara PAN, ada diurutan 7, dengan elektabilitas sebesar 3,6 persen, masih kalah oleh Hanura, yang mendulang dukungan sebanyak 3,8 persen.

Begitu juga saat Charta menguji pilihan responden dengan pertanyaan tertutup. Hasilnya, yang jadi jawara tetap PDI-P, dengan tingkat dukungan sebanyak 21,2 persen. Sedangkan PAN, ada diurutan 8, dengan tingkat elektabilitas sebesar 4, 5 persen.  Sigi Charta juga coba memotret tentang alasan pemilih mencontreng PAN. Sebanyak 24,1 persen, memang menyatakan memilih PAN, karena tertarik figur Hatta. Dalam kontek ini, Pak Hatta lumayan berhasil. Tak sia-sia ia nongol rutin jadi bintang iklan “Kerja Nyata” PAN. Sementara responden yang menyatakan memilih PAN, karena tertarik figur Pak Amien Rais, hanya 13,0 persen. Bolehlah dalam hal ini, Pak Hatta bisa mengalahkan Pak Amien, mentor politiknya.

Nah, sekarang bagaimana mengenai tingkat popularitas Pak Hatta sebagai capresnya matahari terbit.  Hasil sigi Charta, mencatatkan dari sisi popularitas, Pak Hatta juga terbilang  rendah. Dari 27 nama capres yang disimulasikan Charta dalam surveinya, untuk tingkat kesukaan, Pak Hatta ada di urutan 8. Ia disukai 39,5 persen responden, jauh di bawah Mas Jokowi yang disukai 85,5 persen.   Sementara dari sisi tingkat pengenalan, Pak Hatta juga tak terlalu dikenal oleh publik, meski ia seorang Menko. Tingkat pengenalan Pak Hatta, hanya 71,3 persen, masih kalah oleh tingkat pengenalan Bang Rhoma yang mencapai 81,2 persen. Sedangkan Mas Jokowi, tingkat pengenalannya mencapai 93,1 persen .

Dari sisi elektabilitas, Pak Hatta juga tercecer jauh oleh Mas Jokowi, Pak Prabowo, Pak Ical dan Pak Wiranto.  Dalam menguji tingkat elektabilitas capres ini, Charta menggunakan dua cara, yakni dengan pertanyaan terbuka dan tertutup. Untuk tingkat elektabilitas dengan pertanyaan terbuka, jawaranya Mas Jokowi, dengan elektabilitas sebesar 32, 6 persen. Sementara Pak Hatta, ada di urutan 7, dengan elektabilitas sebesar 1, 8 persen. Cukup berjarak jauh.

Sedangkan dengan pertanyaan tertutup, elektabilitas Pak Hatta ada di urutan 9. Elektabilitasnya hanya 2,0 persen.  Pak Hatta hanya unggul sedikit dari Bang Rhoma Irama yang ada di bawahnya. Elektabilitas si Raja Dangdut itu, sebesar 1,5 persen. jawaranya tetap Mas Jokowi, dengan elektabilitas sebesar 37,4 persen. di bawah Mas Jokowi ada nama Pak Prabowo dengan elektabilitas sebesar 14,5 persen.

Dalam siginya, Charta juga coba mensimulasikan 10 nama yang disodorkan kepada responden untuk dipilih. Pak Hatta masuk didalamnya. Dari 10 nama capres, Pak Hatta ada di urutan 9. Di posisi satu, tetap Mas Jokowi, dengan 39,8 persen. Sementara Pak Hatta, tingkat elektabilitasnya hanya 2,3 persen. Pak Hatta hanya unggul dari Pak Endiartono Sutarto, mantan Panglima TNI yang juga jadi peserta konvensi capres Partai Demokrat. Tingkat elektabilitas Pak Endiartono hanya 0,3 persen.

Untuk posisi cawapres sendiri, Pak Hatta rasanya cukup berat. Tingkat elektabilitasnya tak begitu moncer. Ia ada di urutan 6 dari 22 nama yang dianggap paling tepat sebagai cawapres. Tingkat elektabilitas Pak Hatta, hanya 5,1 persen terpaut jauh dengan elektabilitas Pak Jusuf Kalla yang mencapai 20,1 persen. Pak Kalla atau Pak JK sendiri, ada di urutan nomor satu, sebagai tokoh yang dinilai paling tepat sebagai cawapres. Jadi kalau melihat itu, rasanya kemungkinan besar Pak Hatta ini berat untuk bisa naik kelas menjadi presiden. Mungkin Pak Menko akan tetap tinggal kelas, atau jangan-jangan bakal turun kelas. Ya, kita tunggu saja, nasib politik dari Pak Menko....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline