Pak Susilo Bambang Yudhoyono, atau biasa disapa Pak SBY, pada pemilihan presiden kali ini, ia tak bisa maju lagi. Suami dari Kristiani Herawati atau biasa di kenal dengan panggilan Ibu Ani Yudhoyono ini, sudah dua kali menjadi presiden. Periode sekarang adalah yang terakhir baginya.
Konstitusi menyatakan, bahwa setelah dua kali menjabat, ia tak bisa lagi maju ke gelanggang Pemilihan Presiden (Pilpres). Pak SBY kena aturan konstitusi tersebut. Maka, pada Pilpres 2014 ini, persaingan tak lagi menyertakan incumbent, seperti pada Pilpres 2004 dan 2009 yang keduanya di menangkan Pak SBY.
Tapi ternyata, yang minat menjadi Presiden tetap banyak. Bahkan ada yang sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Padahal, jadi Presiden itu berat. Bukan posisi yang main-main. Lihat saja wajah Pak SBY, kalau dicermati, rasanya beliau itu seperti lelah. Seperti menanggung beban yang amat sangat berat. Ya, wajar beliau lelah, sebab ada 250 juta kepala yang ia harus pikirkan. Apakah mereka itu sejahtera, berapa yang masih di bawah garis kemiskinan, serta harus pakai uang apa, mengangkat nasib mereka. Belum lagi, mikiran korupsi yang kian merajalela. Di tambah lagi, beliau ini kan Ketua Umum Partai. Pikirannya juga tentu terbagi kepada partainya. Apalagi, partai yang beliau pimpin, Partai Demokrat, sedang didera masalah. Banyak kader beliau, bahkan yang dulu ia percaya kini malah masuk penjara. Elektabilitas Demokrat dalam survei terus melorot. Bisa jadi, status jawara pemilu yang pada 2009 berhasil digenggam bakal lepas dari tangan.
Maka, kantung mata beliau pun, cukup kentara menggantung. Mungkin, karena banyak yang harus dipikirkan, beliau kurang tidur. Mungkin saja, itu tebakan saya, jika melihat kantung matanya. Tapi, kok yang mau seperti beliau ini, begitu bejibunnya. Bahkan latarnya macam-macam. Namun ambisi sama, bisa berkantor di Istana Negara, dan mendapat pelayanan dan pengawalan nomor satu di negeri ini. Padahal, beban kerja yang bakal ditanggung teramat berat. Mau apalagi, jadi Presiden memang sangat-sangat prestius. Dengan jadi Presiden, ia adalah panglima tertinggi di negeri. Dengan jadi presiden, ia adalah pucuk pimpinannya negara. Dengan jadi presiden, ia adalah penyambung lidah rakyat.
Pada Oktober nanti, Pak SBY bakal pensiun. Calon penggantinya sudah ngantri di luar Istana. Mereka sedang berebut tiket, agar pasti bisa beradu vokal dalam konser pemilihan presiden. Tak gampang memang, sebab harus ada kendaraan politik yang bisa mengantar dia ke Istana. Kendaraan itu, harus memenuhi syarat ketat, 20 persen raihan kursi di DPR dan 25 persen perolehan suara nasional. Tak gampang kan.
Tapi, jauh sebelum gong pemilu ditabuh, sudah ramai yang bersuara, dirinya layak jadi Presiden. Sebut saja Mas Farhat Abas, advokat yang sebentar lagi jadi mantan suaminya Mbak Nia Daniati, penyanyi melankolis yang masih cantik diusianya yang sudah memasuki paruh baya. Mas Farhat itu, dulu pernah mempromosikan dirinya kemana-mana sebagai capres muda alternatif. Slogannya pun beda dengan yang lain, siap disumpah pocong. Saya tak tahu, kenapa sumpah pocong yang diusung. Padahal, sampai detik ini, belum ada Presiden Indonesia, saat akan mulai menjabat, disumpah pocong. Mungkin biar beda saja.
Sayang ratusan juta sayang, promosi Mas Farhat tak laku. Sebab tak ada partai yang meliriknya. Alhasil jualan capres muda yang siap disumpah pocong pun menguap begitu saja. Justru yang membuat Mas Farhat tenar, adalah peseteruannya dengan Ahmad Dhani, musisi yang juga bos Republik Cinta dan kisah perpisahannya dengan Mbak Nia, istrinya selama ini. Malah, Mas Farhat alih-alih jadi capres, ia kini banting setir jadi caleg. Mungkin falsafah yang dipakai, tak jadi presiden, jadi caleg pun tak apalah.
Nama lainnya adalah Bang Rhoma Irama, penyanyi dangdut yang dijuluki rajanya musik dangdut. Bang Rhoma juga punya ambisi sama dengan Mas Farhat, mau seperti Pak SBY. Tapi, Bang Rhoma tak jualan sumpah pocong. Nasib Bang Rhoma pun lebih baik ketimbang Mas Farhat, sebab ada partai yang melirik dan menggadang-gadang dia sebagai capres. Partai yang menggadang penyanyi yang selalu menghimbau rakyat Indonesia jangan begadang itu, adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang dipimpin Mas Muhaimin Iskandar atau biasa di sapa Cak Imin.
Bahkan oleh Cak Imin, Bang Rhoma itu sudah dikenalkan kemana-mana. Spanduk dan balihonya pun dipasang dimana-mana. Bahkan lengkap dengan gelar profesornya, walau kemudian itu diralat, setelah ramainya pro kontra atas gelar itu. Tapi, langkah Bang Rhoma ke Istana pun masih berjudi, seperti lagunya. Dalam survei, elektabilitas Bang Rhoma masih jauh dari harapan. Masih kalah jauh oleh Mas Jokowi, yang dulu 'pernah ia musuhi' saat Pilkada Jakarta kemarin.
Bahkan, dalam survei Charta Politika, lembaga riset politik yang dikomandani Mas Yunarto, Bang Rhoma ini, adalah capres yang paling dibenci responden. Waduh, hasil yang 'menyeramkan'. Di PKB sendiri, Bang Rhoma tak serta merta otomatis bakal diusung, andai partainya Cak Imin itu meraup suara besar. Sebab, selain Bang Rhoma, partai yang identik dengan kaum nahdliyin itu, juga mengelus jagoan lain, yakni Pak Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga profesor beneran Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia dan Pak Jusuf Kalla, Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) yang juga mantan Wakil Presiden. Jadi jalan Bang Rhoma ke Istana masih begitu terjalnya.
Tokoh-tokoh lain yang berminat menggantikan Pak SBY, datang dari barisan para serdadu. Mereka bukan serdadu biasa, tapi serdadu dengan bintang dipundak. Salah satunya adalah Pak Prabowo Subianto. Pak Prabowo ini, mantan tentara dengan sederet jabatan. Ia pernah jadi komandan Jenderal pasukan khusus TNI-AD, Kopassus. Pak Prabowo juga sempat menjadi Panglima Kostrad. Terakhir ia pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal alias jenderal bintang tiga. Ia pensiun dini, karena diduga terlibat kasus penculikan aktivis.
Kini, ia adalah capres Partai Gerindra, partai yang ia dirikan. Di Gerindra, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai. Sebelumnya, pada Pilpres 2009, Pak Prabowo sempat mencicipi gelanggang. Bersama Ibu Mega, Pak Prabowo maju Pilpres dengan status cawapres. Sayang duet Ibu Mega dan Pak Prabowo, kandas, kalah suara oleh pasangan Pak SBY dan Pak Boediono.
Mantan serdadu lainnya yang berhasrat masuk Istana adalah Pak Wiranto. Pak Wiranto pun bukan tentara sembarangan, ia mantan Panglima TNI. Pak Wiranto juga pernah jadi Kepala Staf TNI-AD, juga Pangkostrad sama seperti Pak Prabowo. Pak Wiranto sendiri, adalah seniornya Pak Prabowo dan Pak SBY. Bahkan bisa dikatakan Pak Prabowo dan Pak SBY itu, adalah mantan anak buahnya di TNI.
Sekarang Pak Wiranto, berambisi lagi maju gelanggang. Kali ini dia merangkul Pak Hary Tanoesoedibjo, konglomerat pemilik beberapa stasiun televisi, media cetak, radio dan online. Lewat Partai Hanura yang ia dirikan dan ia pimpin, ambisi ke Istana coba ia rintis.
Sebelumnya pada 2004, Pak Wiranto pernah mencoba itu. Sayang, meski ia berstatus capresnya Partai Golkar, pemenang pemilu ketika itu, Pak Wiranto gagal jadi pemenang. Bersama dengan Kyai Solahudin Wahid atau Gus Solah, Pak Wiranto bertarung di Pilpres. Tapi, ia mesti mengakui kehebatan mantan anak buahnya, yakni Pak SBY yang ketika itu berpasangan dengan Pak Jusuf Kalla atau Pak JK.
Pada Pilpres 2009, Pak Wiranto kembali maju gelanggang. Kali ini, ia tak lagi berstatus Capres tapi cawapresnya Pak JK, eks teman duet Pak SBY di Pilpres 2004. Lagi-lagi Pak Wiranto harus mengakui keunggulan mantan anak buahnya, Pak SBY. Saat itu, Pak SBY tak lagi berduet dengan Pak JK, tapi dengan Pak Boediono atau Pak Boed.
Sementara Pak SBY, dalam Pilpres 2014, tak bisa lagi maju, sebab sudah menjadi Presiden untuk dua periode. Konstitusi memang membatasi itu. Tapi, Pak SBY sudah siapkan calon, yang tak lain adalah Pak Pramono Edhie Wibowo. Pak Pramono juga sama seperti Pak SBY, ia seorang tentara. Putra dari almarhum jenderal Sarwo Edhie Wibowo ini, tak lain adalah adik iparnya Pak SBY. Istrinya Pak SBY, Ibu Ani Yudhoyono adalah kakak kandung Pak Pramono Edhie.
Pak Pramono juga bukan tentara biasa. Dia adalah mantan Kepala Staf Angkatan Darat. Pak Pramono juga adalah mantan prajurit baret merah (Kopassus). Bahkan di satuan elit itu, Pak Pramono pernah menjadi komandan jenderalnya sama seperti Pak Prabowo. Kini, Pak Pramono, sedang mengikuti konvensi penjaringan capres Partai Demokrat, partai yang didirikan abang iparnya. Sayang, dalam bursa survei capres, elektabilitas Pak Pramono masih melempem. Namanya tak masuk hitungan tiga besar.
Mantan tentara lainnya, yang punya ambisi sama seperti Pak Wiranto, Pak Prabowo dan Pak Pramono Edhie, adalah Pak Endiartono Sutarto, atau biasa di panggil Pak Tarto. Pak Tarto ini juga bukan tentara ecek-ecek. Dia adalah mantan panglima, dengan empat bintang di pundak.
Awalnya, ia merintis karir politik di Partai NasDem, partai yang sekarang dikomandani Pak Surya Paloh. Tapi, Pak Tarto kemudian memutuskan ikut konvensi capres Partai Demokrat. Namun, nasib elektabilitas Pak Tarto sama seperti Pak Pramono Edhie. Dalam bursa survei capres, namanya tak masuk hitungan. Sepertinya tiket Istana bagi Pak Tarto masih berat untuk dapat digenggamnya.
Calon lainnya datang dari luar tentara. Salah satunya adalah Pak Aburizal Bakrie. Ia adalah saudagar tajir di negeri ini, pemilik gurita bisnis Bakrie Grup. Pak Ical juga nakhoda partai besar yakni Partai Golkar, sebuah partai yang kenyang dengan pengalaman. Pada 2007, oleh Majalah Forbes, Pak Ical dinobatkan sebagai orang paling kaya seantero Indonesia. Tapi, sekarang namanya tak pernah lagi nongol dalam daftar orang terkaya se-Indonesia. Namun walau Pak Ical adalah juru mudi beringin, partai yang pernah begitu digjaya di era Orde Baru itu, tapi elektabilitasnya tak begitu mengkilap. Ia masih terseok-seok, kalah oleh Pak Prabowo dan Mas Jokowi.
Nah, Mas Jokowi ini, adalah calon yang sedang moncer-moncernya. Setidaknya dalam bursa survei capres. Sebelum di capreskan oleh PDI-P, Mas Jokowi adalah Gubernur Jakarta. Hingga sekarang, meski sudah menyandang status capres PDI-P, Mas Jokowi juga masih aktif sebagai orang nomor satu di Ibukota. Jabatan politik lainnya yang pernah ia sandang, adalah sebagai Wali Kota Solo. Di Solo, ia jadi Wali Kota selama dua periode. Lalu, setelah itu hijrah ke Jakarta, bertarung dalam Pilgub bersama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan menang. Tapi, ternyata, sebelum jadi politisi, Mas Jokowi ini adalah seorang pengusaha sukses di bidang permebelan lewat PT Rakabu yang didirikan.
Calon lainnya, juga tak kalah mentereng. Misalnya, Pak Dahlan Iskan, bos Jawa Pos yang juga Menteri BUMN, atau Pak Gita Wirjawan, yang mantan Menteri Perdagangan, lalu Pak Marzuki Alie, Ketua DPR, Pak Irman Gusman, Ketua DPD atau Pak Dino Patti Djalal, mantan Dubes RI di Amerika Serikat, dan Mas Ali Masykur Musa, Anggota BPK. Sederet nama yang disebutkan diatas, coba mendapat tiket menuju Istana lewat konvensi penjaringan capres Partai Demokrat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H