Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Ramai Gaduh Putusan Praperadilan Budi Gunawan

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakim Sarpin Rizaldi yang menyidangkan gugatan praperadilan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK, telah mengetok palu keputusannya. Sarpin memutuskan, penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan, jenderal bintang tiga polisi yang dikenakan komisi antirasuah tak sah alias batal demi hukum. Sontak, putusan itu mendapat reaksi keras, terutama dari aktivis anti korupsi. Sarpin dianggap keliru, salah kaprah dan semau gue dalam memutuskan gugatan praperadilan yang diajukan kubu Gunawan. Para penentang putusan Sarpin bersandar pada argumen, bahwa dalam KUHAP dinyatakan penetapan tersangka bukan objek praperadilan. Ketentuan itu termuat dalam Pasal 77 KUHAP.

Senin petang 16 Februari 2015, pasca hakim Sarpin mengetok palu putusannya, beberapa pesan masuk ke inbok email saya. Sebagian besar email yang masuk, berisi pernyataan sikap, tanggapan dan komentar tentang putusan praperadilan Budi Gunawan yang dikabulkan hakim Sarpin.

Email pertama datang dikirimkan Mas Hendardi, Ketua Setara Institute. Menurut Mas Hendardi, ada banyak pendapat tentang putusan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan (BG). Arus yang menentang praperadilan BG beranggapan bahwa putusan itu cacat karena bertentangan dengan KUHAP, karena penetapan tersangka bukanlah obyek dari praperadilan. Namun, karena tak ada mekanisme banding atas putusan praperadilan, maka secara formil putusan itu telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dan secara formil pula kata Mas Hendardi, putusan yang diketok oleh hakim Sarpin Rizaldi, memulihkan seluruh hak-hak tersangka, termasuk hak untuk dilantik menjadi Kapolri.

Meskipun secara formil penetapan tersangka itu batal demi hukum, kata Mas Hendardi lagi, di aras etika politik putusan itu tetap menimbulkan arus penentangan, karena banyak cacat pula dalam proses peraperadilan BG. Maka, kata Mas Hendardi, jalan keluar dari kemelut ini, tidak ada jalan lain bagi Presiden Jokowi untuk melantik BG sebagai Kapolri terlebih dahulu, dengan argumentasi hukum formil bahwa BG pantas menjadi Kapolri sebab putusan pengadilan telah membatalkan status tersangka yang disandang BG.

Maka dengan demikian, lanjut Mas Hendardi, seluruh proses ketatanegaraan dilalui secara sistematis. Kata dia, inilah mekanisme yang paling obyektif dan prosedural, karena semua didasarkan pada aras hukum dan sistem ketatanegaraan. Tetapi, jika setelah dilantik Jokowi akan mengganti BG sebagai Kapolri dan menggantikannya dengan calon baru, itu kembali kepada hak prerogratif presiden. Menurutnya, Jokowi punya kewenangan itu. Langkah-langkah yang diambil akibat putusan praperadilan ini bukan ditujukan untuk menyelamatkan BG yang mengklaim mengalami tindakan sewenang-wenang dari KPK, tetapi yang utama justru untuk menyelamatkan sistem hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia.

Mas Hendardi menambahkan, meski putusan praperadilan BG memberikan solusi bagi Jokowi, tapi yang perlu diingat juga putusan tersebut menimbulkan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi.

Email kedua saya terima dari Mas Miko Ginting, Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Mas Miko juga dalam emailknya mengomentari putusan praperadilan yang dimenangkan kubu Budi Gunawan. Menurut Mas Miko,  putusan praperadilan yang dibacakan oleh Hakim Sarpin Rizaldi pada intinya mengabulkan sebagian gugatan kubu Budi Gunawan. Tapi kata Mas Miko, terdapat beberapa kelemahan dalam putusan itu. Kelemahan pertama, Hakim Sarpin telah melampaui kewenangannya dalam memutus perkara praperadilan tersebut. Dalil-dalil yang dipertimbangkan oleh Sarpin seperti kualifikasi penyelenggara negara/penegak hukum adalah pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana.

Kata Mas Miko, hal tersebut seharusnya diperiksa pada persidangan pokok perkara bukan praperadilan. Ia pun menilai, Hakim Sarpin telah bertindak melampaui kewenangannya dalam memutus perkara praperadilan ini. Hakim Sarpin mestinya memahami bahwa persidangan ini adalah persidangan praperadilan dan bukan pokok perkara. Sementara kelemahan kedua, Hakim Sarpin juga tak konsisten dalam melakukan penafsiran hukum. Di satu sisi, hakim memperluas penafsiran terhadap objek praperadilan yang telah tegas dan jelas diatur dalam KUHAP. Namun, di sisi lain, penafsiran yang diperluas itu tidak dilakukan dalam konteks pemaknaan terhadap penyelenggara negara/penegak hukum.
 
Karena itu, kata Mas Miko, KPK seharusnya mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali menurut KUHAP merupakan upaya hukum luar biasa atas putusan yang berkekuatan hukum tetap.
 
KPK kata Mas Miko, dapat menggunakan dasar yang sama seperti saat Hakim Sarpin memperluas objek praperadilan. KPK dapat menggunakan alasan adanya kekeliruan yang nyata dalam putusan praperadilan Budi. Dengan itu, komisi anti rasuah, seharusnya juga dapat mengajukan upaya PK ke MA. Apalagi MA dalam beberapa putusannya telah menerima permohonan PK atas putusan praperadilan.
 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline