Beberapa waktu lalu pemerintah telah mengumumkan himbauan bagi seluruh pedagang di negeri ini untuk menjual minyak goreng dengan harga tidak lebih dari Rp 14.000 per liternya.
Tidak tanggung-tanggung, kebijakan yang disampaikan secara langsung oleh orang nomor satu di negeri ini segera dimulai dari pelaku usaha di sektor ritel modern yang kemudian secara berangsur juga diikuti oleh para pedagang di pasar-pasar tradisional.
Untuk mempertegas berlangsungnya kebijakan ini pemerintah bahkan telah menginisiasi program operasi pasar secara berkala hingga tulisan ini penulis susun. Namun, pada prakteknya program tersebut masih dapat dikata jauh api dari panggang untuk dapat dikatakan berhasil dengan sempurna.
Diantara masalah yang dapat ditemui dari berlangsungnya program tersebut adalah adanya antrean mengular yang menyebabkan kerumunan jamak orang di tengah situasi pandemi yang belum tuntas hingga saat ini.
Belum lagi hal ini semakin diperparah dengan adanya sebagian masyarakat yang ternyata tidak mendapatkan jatah minyak goreng yang mereka harap, meski mereka telah membawa kupon antrean yang sebelumnya dibagikan oleh petugas beserta peluh yang harus mereka teteskan karena berdesakan dengan anggota antrean lainnya.
Di sisi lain, sebagian produsen minyak goreng ada yang menyiasati kebijakan pemerintah yang dianggap memberatkan para pedagang tersebut, yakni dengan cara menawarkan minyak goreng yang bertakaran kurang dari satu liter, misalnya saja dengan kemasan yang isinya 800 mililiter.
Dengan ukuran yang semakin menyusut dari ukuran standarnya, maka upaya para produsen untuk semakin mendekati kebijakan harga minyak yang ditetapkan oleh pemerintah itu pun relatif menjadi lebih masuk akal.
Hal tersebut dikarenakan mereka setidaknya dapat memberikan kesan kepada sebagian masyarakat dan pemerintah bahwa mereka sudah mampu menyesuaikan antara harga jual produk yang ditawarkan dengan harga yang dianjurkan oleh pemerintah, meski secara riil jika kita mengamati secara lebih seksama kuantitas produk dalam kemasan itu semakin menyusut.
Dan pada prakteknya, dengan berbekal strategi mengurangi takaran produk ini para pedagang eceran pun masih harus menerima harga kulakan di kisaran Rp 15.000 per liter dari agen, yang mana nilai tersebut masih lebih tinggi dari harga yang telah dianjurkan oleh pemerintah.
Melihat fakta ini dari sudut pandang matematika ekonomi, jelas tidak mungkin bagi para pedagang eceran tersebut untuk menjual kembali minyak goreng di bawah harga Rp 15.000 apalagi di harga Rp 14.000 seperti yang telah dianjurkan oleh pemerintah, kecuali jika motif mereka adalah untuk berderma atau karena faktor sosial (social oriented) semata.
Dan jika kita melihat pada realitas ini, maka kita pun dapat menyimpulkan bahwa menjual minyak goreng di atas harga kulakan adalah hal yang wajar. Hanya saja hal lain yang sepatutnya perlu diperhatikan oleh para penjual minyak goreng, wabil khusus yang berada di tingkat pedagang eceran tersebut adalah ketelitian, ketelatenan dan keterbukaan (baca: kejujuran) mereka dalam menyampaikan isi minyak goreng sesungguhnya yang sesuai dengan takaran dalam kemasan kepada pelanggan.