Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Adib Mawardi

TERVERIFIKASI

Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Relativitas dan Keadilan

Diperbarui: 8 Februari 2021   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi timbangan sebagai simbol keadilan (Tingey Injury Law Firm/Unsplash)

Bagi saya, mengkonsumsi rujak dengan sebiji cabe akan melahirkan sensasi rasa yang cukup pedas, atau kalau memakai istilah orang Jawa biasa disebut sumer. Oleh karena dengan sebiji lombok saja sudah lumayan pedas untuk ukuran lidah saya, maka saya pun tak pernah berselera untuk menambah jumlah cabai lagi demi menghindari hal-hal yang berdampak tak nyaman atau mungkin juga tak sehat pada tubuh saya kelak. 

Selain itu, saya juga tak ingin mencoba menambah jumlah konsumsi makanan di luar kemampuan cerna saya, meski menurut anggapan orang lain jumlah itu adalah ukuran yang relatif sangat kecil.

Untuk ukuran orang tertentu, barangkali ada yang harus membubuhkan beberapa butir cabai pada makanan agar ia lekas merasakan sensasi pedas pada indera pencecapnya. Sehingga, jika dibandingkan dengan ukuran saya tadi, kemampuan saya itu jelas bukanlah apa-apa ketimbang mereka. 

Dan oleh karena keadaan ini, bisa saja kemudian akan memicu anggapan cemen, tidak jantan, dan lain sebagainya untuk ukuran kemampuan konsumsi cabai saya itu. 

Namun, di tengah derasnya kemungkinan anggapan itu, bagi saya bukanlah sebuah persoalan, sebab Tuhan memang menitipkan kemampuan yang berbeda-beda kepada para makhluk-Nya, sebagai bagian dari rahmat dan keadilan-Nya terhadap seluruh ciptaan. 

Keadilan tidak harus identik dengan keadaan yang sama persis, sebagaimana kemampuan setiap orang harus sama, penghasilan setiap individu harus sama rata, makanan semua orang takarannya harus sama, menunya harus sama. Jelas tidak demikian. Ada beberapa pertimbangan lain untuk dapat memahami bagaimana sejatinya penerapan dari keadilan ini, yakni antara lain dengan menggunakan pola relativitas.

Baiklah. Mari kita ambil contoh yang lain. Bagi sekelompok orang tertentu, memperoleh gaji Rp 5.000.000 per bulan mungkin saja adalah nilai yang cukup ideal. Sementara untuk pihak lainnya, bisa jadi nominal itu adalah sebuah nilai yang hanya ada dalam mimpi mereka, dalam artian hampir mustahil untuk mereka peroleh. Kemudian ada lagi sekelompok sisanya yang beranggapan bahwa jumlah itu adalah nilai yang tak ada apa-apanya dibanding kebutuhan maupun hasrat konsumsi mereka. 

Kesimpulan dari tiga perbandingan tersebut adalah ternyata dengan nominal yang sama pun belum tentu hal ini akan melahirkan kepuasan yang sama dari si penerimanya. 

Perbandingan tiga kondisi tersebut merupakan sebagian contoh sederhana dari relativitas yang jika ditarik benang lurus pada bahasan yang lain mungkin saja kita akan menemukan pola-pola yang hampir serupa. 

Dengan adanya kondisi yang tak selalu sama pada keadaan seseorang oleh sebab pola-pola relativitas itu, maka bisa jadi hal ini merupakan rahmat dan keadilan tersendiri bagi pihak lain. Misalnya saja lantaran perbedaan itu akan memicu terjadinya subsidi silang kebutuhan, keinginan maupun kemampuan.

Keadaan yang berlebih pada satu pihak yang dibarengi dengan situasi yang kurang pada di sisi yang lain inilah yang diantaranya juga telah melatarbelakangi terjadinya transaksi saling tukar, barter, hingga perdagangan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline