Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Adib Mawardi

TERVERIFIKASI

Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Tidak Semua yang Berbahasa Arab Itu Harus Diamini

Diperbarui: 14 September 2020   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Ismael Paramo-Unsplash (edited) 

Ini adalah sebuah kisah tentang pengalaman saya sendiri ketika mengikuti shalat Jum'at di berbagai masjid yang pernah saya singgahi. Pada saat akhir khutbah pertama, biasanya khatib pun akan berdoa: "barakallahu lana wa lakum fil qur'ani al-karim.."

Seperti halnya doa pada umumnya, biasanya hal ini diiringi dengan aminan beserta tangan yang menengadah dari para jama'ah yang menyimaknya. 

Dalam tulisan ini, saya tidak hendak menyoal isi dari doa itu. Namun, saya hanya sedikit menyoroti kalimat berikutnya yang biasa mengiringi doa itu, "aquulu qaulii haadzaa wa astighfirullaaha rabbii wa rabbukum fastaghfiruuhu innahu huwa al-ghafuurur rahiim."

Kalau diterjemahkan dengan bebas maksud dari kalimat kedua sang khatib tersebut kurang lebihnya adalah: "Saya sampaikan pesan saya ini dan saya memohon ampun kepada Allah untuk diri saya sendiri dan untuk kalian, maka hendaklah kalian juga memohon ampun kepada-Nya. Sesunggunya Dia-lah Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi." 

Jika dicermati terjemahan saya tadi [atau jika ingin lebih yakin juga boleh menggunakan referensi yang lain. Atau kalau ingin yang instan dengan memakai google translate], tidak ada dalam kalimat pak khatib tersebut yang berisi doa. Lantas, jika bukan doa kenapa tangan masih menengadah seperti layaknya orang yang berdoa? 

Maka sudah pasti, jawabannya adalah karena diantara jama'ah itu masih belum paham dengan arti dari kalimat yang disampaikan oleh sang khatib tadi, sehingga mereka menganggap hal itu sebagai sebuah doa. 

Apalagi biasanya khatib ini pun membawakannya dengan intonasi atau nada yang relatif sama dengan bacaan-bacaan Arab lainnya. Sehingga jama'ah yang masih belum memahami apa yang disampaikan oleh khatib itu pun sulit membedakan antara kalimat pernyataan biasa dengan kalimat doa.

Entah bagaimana harus memulai sosialisasi mengenai hal ini. Namun, setidaknya melalui tulisan ini, saya sudah memberikan sedikit pandangan sejauh yang saya tahu, yang itu boleh diterima atau juga boleh diabaikan. 

Namun, jika saya boleh sedikit memberikan pertimbangan manakala ada yang hendak menolak isi dalam tulisan saya ini, saya menyarankan pada siapa saja untuk membayangkan manakala suatu waktu mereka bertemu dengan orang Arab yang mengajak berbicara dengan bahasanya sendiri, yakni bahasa Arab? 

Apakah kiranya mereka juga akan mengamini semua yang diucapkannya itu? Jika memang itu yang terjadi, maka alangkah lucunya hidup ini. [mam]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline