Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Adib Mawardi

TERVERIFIKASI

Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Menilik Hikmah Kehidupan dari Bapak Pemilik Kosan

Diperbarui: 8 September 2020   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Picture by: Mahdi Asadi-Unspalsh (edited) 

Dulu, sekitar tahun 2008, sewaktu saya masih kuliah di UIN Maliki Malang, saya biasa mengerjakan tugas kelompok di salah satu kosan teman saya. 

Alasan saya memilih kosan itu adalah selain tersedianya ruang tamu di teras rumah yang cocok untuk tempat ngumpul, pemilik kosnya pun selalu menyediakan harian koran Kompas teranyar di sana. 

Sungguh tempat yang menurut saya sangat ideal untuk cangkrukan sembari berdiskusi dan membagi tugas makalah. Dan mungkin saja kondisinya akan bertambah lengkap manakala tersedia suguhan secangkir kopi hitam di atas meja. 

Seraya menunggu teman-teman saya datang ke kosan ini, biasanya saya membolak-balik beberapa halaman koran Kompas yang tampak menganggur di atas meja itu. Saya berharap barangkali ada isu terkini yang bisa diangkat untuk diskusi nanti. 

Ketika sedang asyik-asyiknya membaca, biasanya saya didatangi oleh bapak pemilik kosan yang sekaligus empunya koran yang saya baca itu.

Saat beliau telah duduk di samping saya, saya pun tak lupa menyampaikan maksud kedatangan saya di kos miliknya untuk menghindari salah sangka sekaligus mohon izin untuk membaca koran miliknya. Sebuah permohonan izin yang mungkin saja akan ia anggap sebagai basa-basi yang termaklumi. 

Sembari menunggu teman saya datang [sampai saat ini saya kurang terang, kenapa diantara mereka seringkali terlambat; apakah ini sebab mereka memang lama dalam menyiapkan materi diskusi, atau sengaja mengulur waktu sambil menunggu selesainya perbincangan saya dengan sang pemilik kosan], beliau pun biasanya mengajak saya ngobrol. 

Nah, salah satu tema obrolan itulah yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini. Berikut adalah salah satu isi percakapan diantara kami.

"Mas, kalau menurut Sampeyan, dalam hidup ini enak yang mana antara 'me' dan 'di'?" tanya bapak kos itu membuka percakapan. 

"Wah. Itu tergantung Pak. Harus melihat dulu kata apa yang menyambungnya." jawab saya setelah merenung sejenak. Saya membayangkan perbandingan katanya bisa digambarkan seperti: dirayu-merayu, disuap-menyuap, disakiti-menyakiti, dibunuh-membunuh, dan seterusnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline