Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Adib Mawardi

TERVERIFIKASI

Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Jeritan Hati Sang Maharaja Singa

Diperbarui: 2 September 2020   04:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Picture by: Francesco De Tommaso-Unsplash (edited)

Malam ini, tak seperti malam-malam biasanya bagi Sang Maharaja Singa. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan dengan teramat lambat. Apakah ini lantaran suasana hatinya yang sedang gundah? Ia merasa jiwanya seakan terhimpit. Dadanya serasa sesak. Isi kepalanya seakan mau keluar. Pikirannya mengembara ke mana-mana. 

Ia bertanya dan mengadu pada Sang Penguasa seluruh alam mengenai kegelisahan yang menghampiri dirinya tiap malam tiba itu. Rasa gelisah yang lekas hadir pada dirinya akhir-akhir ini setelah anaknya secara tiba-tiba mengadu padanya mengenai jatah kursi raja. 

Bukannya tak setuju, namun ia merasa anaknya itu masih terlalu hijau untuk menyelam dalam rimba kekuasaan yang penuh dengan godaan dan ancaman. 

Pengalamannya yang cukup lama sebagai seorang raja rimba menjadikannya mafhum bahwa jabatan yang diinginkan anaknya itu bukanlah ihwal yang sembarangan, salah sedikit dalam melangkah rakyat rimbalah yang akan jadi korban. 

Telah banyak cerita-cerita sejarah yang membuktikan dan mencatatnya. Akibat ketidaktelitian dan kezaliman sang raja rimba menjadikan suasana hutan penuh aura yang mencekam. 

Namun, sang pangeran singa rupanya begitu bersikukuh hendak membuktikan kemampuannya pada sang ayahandanya. Sebagai bukti awal atas kepiawaiannya, ia ingin diberi kesempatan untuk mengatur secuil kawasan dari rimba di tanah kelahirannya.

Sang Maharaja Singa bukan semakin lega bercampur bangga atas penuturan ambisius puteranya itu, justru dari sinilah hatinya mulai dipenuhi rasa bersalah. Ia teringat dengan masa-masa mudanya saat menjadi raja kecil yang begitu dielu-elukan oleh rakyat di daerah kelahirannya sebagai apresiasi atas kinerjanya. 

Namun, begitu ia berkuasa pada rimba yang lebih luas, justru ia merasa dikuasai oleh hewan-hewan lain. Dan jangankan dikuasai oleh hewan lain, ia pun merasa telah tak kuasa atas dirinya sendiri. Betapa tak berdikarinya ia kini. 

Ia tak ingin angan-angan anaknya yang masih sesosok singa muda itu melayang seolah tanpa batas. Angan-angan akan kekuasaan yang hakikatnya menyimpan ketidakberdayaan di baliknya. 

Tiba-tiba saja, Ia terbayang akan sosok Raja Panda. Seorang raja pendahulunya yang begitu dielu-elukan oleh rakyatnya sebab kebijakan dan perhatiannya yang sungguh-sungguh pada mereka. 

Saat turun tahta, rakyat rimba pun menangisinya. Mereka menangis sejadi-jadinya sebab meyakini bahwa pemimpin yang dicintainya itu sebenarnya turun dari kekuasaannya bukan karena kelalaian namun akibat jeratan para serigala yang mabuk kekuasaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline