Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Adib Mawardi

TERVERIFIKASI

Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Dul Kaher Jadi Kyai Bayangan

Diperbarui: 30 Agustus 2020   05:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Picture by: Kourosh Qaffari-Unsplash (edited)

Di sebuah pesantren kecil, lima dasawarsa sebelum dikenalnya teknologi gawai di kalangan masyarakat, tampaklah seorang lelaki muda yang tengah memijit punggung seorang lelaki paruh baya. 

Dalam suasana penuh keakraban itu, terjadilah percakapan antara santri dan kyainya. Di bilik kediaman sang Kyai yang tampak sederhana, santri yang dikenal bernama Dul Kaher itu sepertinya hendak mengutarakan perihal yang penting pada seseorang yang sedang dipijitnya.

“Kyai, mohon maaf. Kira-kira bagaimana menurut pendapat Kyai kalau saya sebentar lagi boyong—pulang ke rumah selamanya—dari pondok ini?” Dul Kaher meminta pendapat dari kyainya. 

“Lha ada apa lho kok boyong segala? Apa kamu sudah nggak kerasan (betah)  tinggal di sini Dul?” Sang Kyai balik bertanya.

“Bukan begitu maksud saya, Kyai. Begini lho. Saya ini khan sudah lima belas tahun mondok di sini, dan sepertinya, selama saya belajar di sini, saya belum memperoleh apa-apa. Tidak ada sedikit pun ilmu yang nyanthol (melekat) dalam pikiran saya. Tidak seperti teman-teman yang seangkatan saya dulu, mereka sudah pada boyong semuanya sebab sudah berhasil menimba ilmu dari Kyai." Jawab Dul Kaher. 

"Terus terang, akhir-akhir ini saya juga merasa malu dengan santri-santri baru itu Kyai. Sebab mereka banyak yang gojloki (merundungi) saya dengan panggilan ‘Mbah’, sesepuh pondok lantaran tidak kelar-kelar belajar ngaji di sini. Saya malu sekali Kyai.” Dul Kaher menambahkan.

“Oh, jadi begitu. Terus kalau kamu sudah boyong, rencananya mau apa?”

“Ya, mau kerja Kyai, supaya ada penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.”

“Oo, rupanya Kamu mau kerja tho?! Baik, kalau begitu besok kamu bisa ikut aku. Mulai besok kamu kuberi pekerjaan mengantar aku datang ke pengajian-pengajian, nanti setiap bulannya aku gaji. Bagaimana?”

“Baik, Kyai.”

Sejak percakapan itu, Dul Kaher punya kegiatan rutin yakni membonceng kyainya mendatangi pengajian ke kampung-kampung dengan sepeda kumbangnya. Dan tidak terasa rutinitas ini sudah ia lalui enam bulan lamanya. Hingga di suatu pagi, selepas sang kyai mengisi pengajian di surau pondok, Dul Kaher pun kembali mendatangi kyainya untuk mencurhatkan beberapa hal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline