Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Adib Mawardi

TERVERIFIKASI

Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Mencintai Meski Tak Memahami?

Diperbarui: 28 Agustus 2020   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: user4540679 (Freepik)

Saat iseng-iseng melihat jumlah views dan rating dari Kompasianer, saya sempat menggumam tanya bercampur rasa geli dan penasaran, apa mungkin ya, orang yang belum sempat membaca artikel itu kemudian bisa menilainya dengan aktual, menarik, inspiratif, unik, dan tidak menarik? 

Saat angan-angan itu masih menggelanyut dalam pikiran, saya mengabaikannya dan lebih tertarik untuk membaca notifikasi pada akun saya. Jangan-jangan ada pembaca yang mengomentari artikel dan harus saya balas. Atau barangkali ada yang memberi rating pada tulisan saya, yang sepatutnya juga harus saya balas dengan rating

Namun, sebelum saya menilai tulisan mereka tentu saya membacanya dulu. Dan di situlah biasanya saya akan berhadapan dengan dua masalah; apakah saya punya cukup waktu untuk melakukannya dan apakah saya benar-benar tertarik dengan tulisan mereka?

Sambil memendam pertanyaan itu, saya berusaha memagari diri dengan sikap baik sangka saja, sejauh ini mereka telah memberi rating pada artikel saya sebab tertarik dan terinspirasi oleh tulisan saya. Perkara nanti ada yang tujuannya lain (misalnya ingin memancing rating dan komentar) hanya pihak yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu. 

Oleh sebab itu, tujuan mereka yang sudah saya anggap baik, saya pun menilai dan berkomentar baik pula pada tulisan mereka. Apalagi semua anggota di forum ini sama-sama tahu bahwa slogan budaya berkomentar di sini adalah 'salam hangat', sehangat kopi tubruk yang biasa menemani saya menulis selama setengah jam. 

Apakah saya memberi rating setelah saya selesai membaca tulisan? Untuk beberapa tulisan, ya, dan untuk banyak tulisan, tidak. Dan sebenarnya, saya sering menilai karya seseorang bahkan sebelum sempat membacanya. Ini adalah bentuk balas budi untuk perhatian-perhatian mereka pada karya saya yang mungkin masih dimaklumi di sini. 

Saya tertarik menelusuri artikel seorang Kompasioner sebab ia tertarik dengan artikel saya. Sehingga tak jarang saya menanggapi baik tulisanya meski hanya membaca judulnya. Isinya? Hanya dia, pembacanya, dan Tuhan yang tahu.

Maka dari itu tidaklah mengherankan jika kemudian kita sering mendapati di Kompasiana ini jumlah view pada tulisan yang misalnya berjumlah 3, namun likes-nya berjumlah lebih dari 50. Ya, mau bagaimana lagi? Selama sistemnya di sini memperbolehkan, hal ini akan dianggap legal.

Apakah ini etis? Kenapa tidak? Bukankah cinta itu buta? Bukankah sudah terlalu banyak contoh untuk disebutkan bahwa seseorang mampu mencintai orang lain meskipun tanpa syarat dan tanpa harus menilai lebih jauh keadaannya, atau kita akrab mengenalnya dengan, cinta pada pandangan pertama? Jika ini bisa berlaku pada orang, tentu ini pun bisa berlaku pada sebuah karya tulisan. 

Pembaca yang sudah terlanjur kepincut dengan karya-karya seorang penulis, maka ia akan selalu mencintainya bagaimanapun keadaannya? Bahkan sebelum ia sempat untuk membacanya, yang penting suka dulu. 

Jadi, di sini kita akan mendapati sebuah keadaan; untuk menyukai tulisan tak harus didahului dengan tahu dengan isi bacaan. Atau, mungkin saja mereka langsung paham gambaran isinya dengan hanya membaca judulnya saja. Seperti yang jamak dilakukan oleh beberapa orang saat menilai baik buruknya sebuah buku. Asal tampilan cover dan judul menarik, maka isinya pun dianggap baik, judge the book by it's cover. Ya. Apapun itu yang penting bisa memikat dulu para pembacanya baru kemudian meningkatkan rating tulisannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline