Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia kali ini akan berlangsung dengan suasana keheningan. Meskipun, entitas keheningan ini sebenarnya masih perlu dikaji lagi dengan semakin santernya suara manusia dalam sosial media.
Kita merasakan keheningan itu adalah untuk hal-hal yang sifatnya fisikal. Seperti tidak adanya lomba gerak jalan, absennya karnaval 17-an, hingga terbatasnya penyelenggaraan upacara 17 Agustusan. Sejatinya, ini adalah peluang untuk menjadikan suasana peringatan kemerdekaan Indonesia kali ini menjadi lebih khidmat, seperti yang biasa kita laksanakan pada satu sesi saat mengikuti upacara, yakni mengheningkan cipta.
Melalui momentum mengheningkan cipta yang sesaat itu kita gunakan untuk berlatih merenungi kehendak dari Sang Maha Pencipta atas alam ini. Atas terjadinya penjajahan. Atas gugurnya para pahlawan. Atas kemungkinan terulangnya kembali penjajahan. Atas kewaspadaan diri kita dalam menghadapi pelbagai bentuk penjajahan dalam bingkai modernitas. Dan sebagainya.
Jika dulu kita tahu bahwa bangsa lainlah yang membuat kita terjajah, maka saat ini pun kita merasakan replikasinya dengan adanya rasa penjajahan dari makhluk yang lain.
Dengan hadirnya penjajah kecil ini, kita menjadi mampu merasakan betapa tidak enaknya dijajah, meskipun jika dibandingkan dengan derita para pendahulu kita hal ini tidaklah ada apa-apanya. Sebab, mereka telah merasakan penderitaan fisik, psikologis, dan tidak jarang hingga berujung pada hilangnya nyawa.
Dengan suasana perayaan hari kemerdekaan yang lebih khidmat ini kita akan lebih merasa senasib sepenanggungan dengan para pendahulu kita. Senasib dalam merasakan penjajahan, dan sepenanggungan dalam mempertahankan diri demi menjaga 'kesehatan'. Baik untuk diri kita maupun orang lain.
Inilah kiranya yang dapat menjadi fokus kita yang paling nyata dalam perayaan kemerdekaan tahun ini, yakni menjaga kesehatan. Baik itu kesehatan secara fisik, kesehatan pikiran, sehatnya perekonomian, bugarnya hukum, segarnya tatanan sosial, dan berbagai aspek penting lainnya.
Kita telah merasakan sendiri bahwa perjuangan untuk menjaga itu semua tentu tidak akan mudah seperti halnya perjuangan para kakek buyut kita saat memperjuangkan kemerdekaan.
Untuk meraih kemerdekaan mereka harus berjibaku melawan para penjajah, meninggalkan keluarga mereka, mengorbankan harta mereka, menyerahkan apa saja yang mereka miliki, bahkan jika perlu dengan nyawa mereka sendiri. Dimana buah dari perjuangan ini adalah nikmatnya kemerdekaan yang mereka rasakan saat gugur di medan perang dengan tercurahnya ridha Tuhan atas diri mereka, dan warisan kesejahteraan hidup yang dapat kita rasakan saat ini.
Meski demikian, kita tidak boleh terlalu larut bahagia dalam euforia kemerdekaan sehingga kita menjadi lalai dan terlena dengan bentuk penjajahan yang lainnya. Sebuah penjajahan model baru yang dikemas dengan bingkai yang lebih apik dan memabukkan sehingga mereka yang terjajah pun tidak mampu menyadarinya.