Dalam Al-Qur'an surat Luqman ayat 14, Tuhan menyebut diriNya sebagai Al-Mashir--- ilayyal mashir (kepada-Kulah kembali mu semua). Sementara itu, ibadah haji adalah suatu ibadah yang bisa dilihat sebagai simulasi 'kembalinya' kelak seorang hamba yang merindu kepada Al-Mashir.
Ibadah haji sebagai rukun Islam ke 5 wajib ditunaikan bagi yang mampu. Mampu baik secara jasmani maupun ruhani, moril dan materil. Karena itu ibadah haji hanya dilakukan oleh individu yang telah selesai dengan dirinya. Ia telah memiliki bekal yang seimbang antara materi dan kesadaran ruhani, yang mana bekal tersebut disiapkan tidak lain untuk datangnya moment kembali.
Keberangkatan seseorang menunaikan ibadah haji berarti meninggalkan dan melepaskan secara sadar, penuh kerelaan apa pun yang dimiliki atau segala yang diidentifikasi sebagai dirinya; keluarga, rumah beserta segala isinya, kerabat, sahabat, tetangga, usaha ataupun pekerjaan, jabatan dan segala status sosialnya juga kesukuan, kebangsaan dan tanah airnya, laksana seorang yang menyongsong kematiannya.
Apapun yang semula diperjuangkan (effort) seseorang untuk diperoleh dan dilekatinya, dan diperjuangkan sejak matahari terbit hingga datang gelap malam (bahkan mungkin ada yang sampai dini hari), ditanggalkan (detachment) tanpa uapaya keras (effortless) demi 'kembali' dengan rela dan suka cita menuju Baytullah, rumah Allah.
Kembali dan kematian
Kesiapan paripurna seorang hamba yang berhaji adalah titik dimana ia berada di puncak kesadarannya. Berhaji berarti dengan sengaja 'kembali' kepada kesucian asasinya sebagai manusia surgawi, Dan itu adalah 'kematian bagi Ego, keakuan dan sikap individualnya; keluargaku, hartaku, jabatanku, sukuku bangsaku, kepentinganku benar-benar sengaja 'dimatikan', dilarung, dan larut menyatu dengan samudra.
Sejak awal dari ritus berhaji dimulai, 'kematian' sudah diisyaratkan dan disyaratkan yaitu melalui ihram. Tidak sah haji kecuali ia berihram (dimulai terlebih dulu dengan niat). Tidak ada pakaian lain selain baju ihram yang dikenakan oleh seorang calon haji -- sebentuk kain tak berjahit dan berwarna putih itu.
'Kematian' adalah syarat moril berhaji. Barangkali karena makna inilah para ulama, para sufi begitu mendamba menemukan kematiannya saat berhaji, alih-alih bisa kumpul kembali bersama keluarga di tanah air nya dari dimana ia berasal. Karena di dalam 'kematian' seperti ini, dimana manusia bebas dari segala kemelekatannya atas identitas-identitas duniawi, manusia berjumpa pada pusat dan sumber kebahagiaan, yakni Allah SWT selagi manusia hidup di dunia bukan ketika ia telah mati (wafat).
Pada peristiwa 'kembali' yang berbeda dengan yang diurai diatas, adalah 'kembali' yang terpaksa, untuk itu ia tidak rela tentu saja. Dalam istilah seorang sufi 'kembali' jenis ini disebut ruju' idhthirari. Di mana rasa kepemilikian atas segala yang ia miliki, atas semua yang diidentikiasi sebagai aku, miliku belum 'dimatikan' dan terus hidup berkobar, melekat kuat, maka kembalinya itu sendiri adalah kematian yang penuh siksa penderitaan.
Apabila berhaji kita lihat dari sudut pandang di atas, maka ia berhaji bukan untuk bermaksud pulang menemuiNya seperti diekspresikan melalui kalimat talbiyah,"labaikallahuma labaik",(kami datang dan memenuhi panggilanMu) tetapi, justru makin menjauh dari yang menyerunya untuk kembali, Allah Rabbul'alamin.
Dalam ibadah haji, kita diingatkan bahwa segala daya upaya manusia akhirnya berujung pada ketidak berdayaan. Setelah semua ia dapati dan dimiliki, lalu ia tinggalkan dan tanggalkan. Wukuf di Arafah menjadi puncak perjalanannya. Adalah wujud si hamba sahaya hanya mampu tafakur bersimpuh memohon dan meminta. Tidak ada daya maupun perbuatan yang lebih dari itu.