Sudah lama juga saya tidak melewati jalan tol Bogor-Ciawi yang hanya beberapa kilometer itu. Sejak diperbaikinya salah satu jembatan di ruas Ciawi-Lido, saya lebih memilih jalur alternatif via Cihideung jika akan ke Sukabumi. Jangankan ada sistem buka tutup, dalam kondisi normal waktu tempuh Bogor-Sukabumi bisa 4-5 jam.
Karena keseringan lewat jalur alternatif, ketika diberlakukan e-tol di seluruh gerbang tol, saya tidak menyadari kalau Bogor-Ciawi yang semula hanya Rp. 1.000 berubah menjadi Rp. 6.500. Konon itu merupakan kebijakan satu harga di seluruh pintu tol Jagorawi, baik dari Ciawi ke Bogor yang hanya sekitar 5 km atau sampai Cibubur yang mencapai 45 KM.
Ya, ya, ya.... Bagi yang biasa menggunakan tol Jagorawi secara utuh kebijakan itu mungkin saja menguntungkan, tetapi bagi saya yang lebih sering pakai jalur Ciawi-Bogor dan sebaliknya, kebijakan ini terasa tidak adil dan menyesakkan. Karena itu kalau melalui jalur itu tengah malam, saya kadang memilih lewat tajur saja karena jalanan sudah sepi juga.
Apakah ini ada kaitannya dengan digenjotnya pembangunan jalan tol di daerah-daerah lain seperti di Sumatera sehingga Jasa Marga yag merupakan BUMN itu balik menggenjot penerimaan dari ruas-ruas yang mungkin keuntungannya sudah berlipat?
Pemberlakuan satu tarif tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR) Nomor 692/KPTS/M/2017. Apapun alasannya, ya... kalau sudah menjadi monopoli semuanya pasti menjadi "benar".
Menurut hemat saya, harusnya pemerintah itu hadir ketika suatu komoditi dimonopoli oleh suatu pihak sehingga masyarakat terlindungi. Ini sepertinya terbalik, pemerintah yang memonopoli sehingga bisa melakukan apapun.
Kumaha atuh ieu teh.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H