Tahun 90-an harga tiket pesawat lagi tinggi-tingginya. Jika dibandingkan dengan perjalanan darat atau kapal laut kelas ekonomi bisa mencapai 5-8 kali lipat. Karena pertimbangan itulah, pada tahun 97 atau 20 tahun yang lalu saya nekat menggunakan jalur darat dari Kupang ke Bandung demi agar sisa rupiah yang terakhir masih tersisa buat istri yang saat itu lagi mengadung 8 bulan anak pertama kami. Saya terpaksa harus meninggalkan pekerjaan atas inisiatif sendiri sehingga pulang harus biaya sendiri.
Saat itu Mas Google yang memudahkan mencari informasi apapun belum ada seperti sekarang. Jika ingin tahu sesuatu harus datang langsung ke sumber informasinya. Saya hanya tahu bahwa tikek pesawat Kupang Surabaya sekitar 800 ribuan dan butuh sekitar 70 ribu lagi untuk sampai di rumah mertua di Sukabumi. Sebelum memiliki informasi apa-apa saya yakin bahwa jalur lain akan lebih hemat karena dua tahun sebelumnya pernah naik kapal dan pesawat dari Pontianak ke Jakarta atau sebaliknya, jika naik pesawat 285 ribu tetapi kalau naik kapal hanya 35 ribu.
Meskipun istri menyarankan agar saya naik pesawat saja biar sehari sampai, namun saya lebih memilih jalan darat selama seminggu agar uang yang tersisa dari pekerjaan lebih banyak. Dalam benak saya saat itu, akan jauh lebih sulit pulang tanpa sisa uang dengan status pengangguran dibanding harus bersengsara ria selama seminggu perjalanan itu.
Setelah nanya-nanya orang di pelabuhan Tenau, Kupang , akhirnya saya memilih untuk menggunakan jalur darat sekalian menambah perjalanan daripada jalur laut yang pasti membosankan selama 4 hari dari Kupang ke Banyuwangi. Sebelum berangkat, tas besar yang berisi pakaian dan beberapa bungkus kopi kupang saya paketkan sehingga saya dapat leluasa dengan satu tas punggung saja dengan isi pakaian secukupnya.
Perjalanan pertama adalah penyeberangan ferry dari Kupang ke Ende, itu ditempuh dalam waktu 15 jam. Untuk membunuh kejenuhan, kadang saya masuk ke ruang VIP untuk menonton film dengan membayar lima ratus rupiah atau berjalan-jalan ke dek bawah kapal yang isinya kendaraan dan hewan. Di situ juga ternyata banyak juga pedagang asong sehingga bisa mendapat makanan dengan harga murah seperti di darat. Soal kenyamanan makan jangan ditanya, ada kuda, ada babi di antara mobil-mobil yang ada di kapal penyeberangan Kupang-Ende itu sehingga makanan harus dibawa untuk dimakan di tempat yang lebih terlindung.
Sampai di Ende tak terasa hari sudah berganti, berarti saya sudah satu hari melakukan perjalanan. Sesuai informasi saya kemudian naik bis ke Manggarai, salah satu kota transit yang ada di pulau tersebut. Hari sudah menjelang malam ketika sampai di tujuan. Karena harus menghemat biaya, saya menginap di losmen bersama-sama teman penumpang bis lain yang juga mau ke arah barat.
Satu hal yang sangat unik di penginapan ini adalah biayanya dihitung per kepala. Saya tidak tahu tidur dengan siapa saat itu, ketika mau tidur saya sendirian di kasur besar, ketika bangun sudah ada 2 orang lagi yang tidur di sebelah saya. Jadi teringat ucapan salah seorang dosens saya, kalau kita punya teman tidur itu sama dengan mempercayakan nyawa kita kepadanya. Ketika tidur bisa saja dia membunuh kita. Dan saya baru saja punya teman tidur yang sama sekali tidak saya kenal sebelumnya.
Untungnya keduanya laki-laki juga, he, he.
Bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H