Bagi Muslim dewasa, menjalani puasa secara normal yang dimulai dengan makan sahur dulu kemudian siangnya melakukan aktivitas fisik yang tidak terlalu berat adalah hal biasa. Apalagi jika kita memaknai puasa itu secara benar, tidak makan-minum selama 14 jam itu belum seberapa jika dibanding dengan laparnya orang miskin yang memang tidak punya sesuatu untuk dimakan.
Bulan Ramadhan sekitar 10 tahun yang lalu, saya memulai puasa di Kota Melak, ibukota Kabupaten Kutai Barat. Saat itu kebetulan sedang mendapat tugas mengumpulkan data dari beberapa instansi di kabupaten pecahan Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut.
Karena malas keluar hotel dinihari, saya sahur hanya dengan dua potong roti kecil plus sekotak susu. Tapi dengan niat yang sungguh-sungguh, meskipun siangnya harus kesana-kemari yang melelahkan, saya berhasil menjalaniRukun Islam yang keempat itu sampai sore. Sorenya saya berbuka, kembali dengan beberapa potong makanan ringan karena jika langsung makanan berat, khawatir perut bermasalah.
Mungkin karena kecapaian, sesampai di kamar hotel saya tertidur pulas sampai menjelang makan sahur. Ketika keluar hotel sekitar jam 3 pagi, ternyata di kota kecil itu sama sekali tidak ada tempat makan yang buka. Saya baru menyadari bahwa kota itu mayoritas penduduknya non-muslim sehingga tidak ada tempat makan yang buka untuk bersantap sahur. Sedangkan untuk meminta bantu petugas hotel juga tidak memungkinkan karena mereka sudah menginformasikan jika tidak bias membera pelayanan santap sahur.
Akhirnya hari itu saya memutuskan untuk tidak berpuasa karena pasti perut tak akan terisi makanan berat selama 2 hari 1 malam. Dengan memaksakan puasa, saya khawatir akan jatuh sakit karena saya punya penyakit maag. Hari itu sungguh menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan karena meskipun sedang dalam perjalanan, saya selalu meniatkan untuk tidak melewatkan kewajiban itu.
Berawal dari pengalaman itu, tahun-tahun berikutnya jika mendapat tugas ke luar daerah di bulan Ramadhan, saya selalu antisipasi untuk masalah santap sahur. Antara lain dengan memilih penginapan yang menyediakan santap sahurnya, atau siangnya mencari informasi ada-tidaknya tempat makan yang buka dinihari.
Jika semuanya negatif, maka sebelumsemua tempat jualan tutupharus sudah mempersiapkan makanan berat, apakah itu nasi lauk tanpa kuah atau makanan berat lainnya untuk disantap ketika waktu sahur tiba. Selain itu, saya jugamengkonsumsi suplemen lain seperti madu atau vitamin. Dengan demikian, puasa dapat dijalani dengan baik meskipun sedang berada dalam kondisi musafir.
Setelah bertahun-tahun mengunjungi banyak daerah, saya kini bisa mempredikisi sulit atau tidaknya mencari santap sahur di suatu daerah dikunjungi. Jika itu kota kecil sekali (tak termasuk kategori kota) atau mayoritas penduduknya non-muslim, maka hampir dipastikan akan susah mencari tempat untuk bersantap sahur. Jika tidak termasuk kategori itu, maka tidak masalah karena hampir dapat dipastikan ada rumah makan yang buka dinihari.
Bagi anda yang sering berkunjung ke daerah-daerah tetapi tetap ingin menjaga puasa, maka bersiaplah untuk mengakali agar selalu mendapat makan sahur, apapun caranya. Karena makan sahur adalah salah satu persyaratan teknis untuk bisa menjalani puasa dengan baik. Dan satu hal lagi agar puasa tetap terjaga pada saat melakukan tugas lapangan adalah selalu mengontrol aktivitas agar tidak seberat hari-hari biasa, walaupun secara fisik dirasa mampu. (Taryadi, 21072012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H