Lihat ke Halaman Asli

Taryadi Sum

TERVERIFIKASI

Taryadi Saja

Kawasan Suci di Bali, Bukti Ketidakserakahan Masyarakat

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340359011601135659

[caption id="attachment_196300" align="aligncenter" width="620" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS/AYU SULISTYOWATI)"][/caption]

Seperti dalam peribahasa “ada gula ada semut”. Bali adalah gula, karena keindahan dan keasrian budayanya, Pulau Dewata itu dikunjungi jutaan wisatawan setiap tahunnya. Saking terkenalnya, konon masyarakat pariwisata internasional lebih mengenal Bali daripada Indonesia.

Sebagai berkah dari menyemutnya kunjungan wisman dan wisnu tersebut, potensi ekonomi dan peluang usaha menjadi sangat besar di pulau seluas 5.633 kilometer persegi yang berada di timur Pulau Jawa Tersebut.Pintu-puntu masuk seperti Pelabuhan Gilimanuk, Bandara Ngurahrai, Pelabuhan Benoa, Pelabuhan Padang Bay dan sebagainya hamper tak pernah tidur menerima kunjungan wisata.

Namun di balik hingar-bingarnya pariwisata Bali, ternyata masyarakatnya juga unik dan mengagumkan. Ketika daerah-daerah lain di Indonesia mengeksploitasi alamnya habis-habisan dengan atasnama pembangunan, Bali masih kuat memegang teguh budaya dan kearifan lokalnya.

Salah satu yang paling menonjol adalah adanya upaya mempertahan kawasan suci. Pada Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali, Kawasan Suci adalah suatu wilayah yang melengkapi bangunan suci maupun wilayah pendukung kegiatan pada bangunan suci tersebut yang telah mendapatkan upacara “bhumi Sudha” yaitu upacara untuk menarik kekuatan Ida Sanghyang Widhi dan menghilangkan segala kekotoran secara spiritual terhadap wilayah/kawasan suci tersebut, seperti ; danau, hutan, laba pura, mata air suci (beji), sungai, jurang, ngarai atau campuhan (pertemuan sungai), pantai, setra dan perempatan agung.

Kawasan suci merupakan kawasan lindung yang melarang adanya akitivitas ekonomi manusia pada wilayah tersebut. Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai Kesucian Pura No. 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah Kekeran, dengan ukuran Apeneleng,Apenimpug, dan Apenyengker, antara lain :

1.Pura Sad Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Agung (minimal 5 km dari Pura)

2.Pura Dang Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari Pura)

3.Pura Kahyangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran Apenimpug atau Apenyengker (tanpa menyebut jarak minimal dari Pura).

Mempertahankan kawasan suci bukanlah hal yang mudah bagi Pemerintah Dearah Propinsi Bali. Godaan datang setiap saat terutama dari para investor untuk mengeruk dolar dari pengembangan pariwisata Pulau Dewata itu. Salah satu contohnya adalah di Teluk Benoa, Pemerintah Kota Denpasar harus berjuang sekuat tenaga untuk melindungi salah satu sudutnya yang merupakan kawasan suci dari jamahan investor. Mereka harus melupakan manfaat ekonomi yang akan dihasilkan agar kawasan suci itu tetap terjaga, padahal triliunan rupiah sudah siap dialirkan untuk mengembangkan kawasan  tersebut karena menjanjikan pengembalian yang sangat menggiurkan.

Masyarakat Bali faham betul bahwa dengan mengekspoitasi kawasan secara besar-besaran akan berdampak buruk dalam jangka panjang.  Tidak hanya sampah, tatanan makro pembangunanpun akan susah dikendalikan. Jika tidak dibatasi, suatu saat Bali akan tumbuh seperti Jakarta. Ketika itu benar-benar terjadi bukan tidak mustahil Bali akan ditinggalkan pengunjungnya, karena keindahan dan kekhasan budayanya akan sulit lagi ditemui.

Semoga Bali tetap indah……

Sumber : Naskah Akademik RTRWP Bali 2009-2029




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline