Anak pertama saya yang kelas 2 SMA, akhir-akhir ini hampir setiap hari pulangnya habis Isya. Kalau tidak les/belajar kelompok, ia sedang mengurus sesuatu terkait dengan aktivitasnya sebagai pengurus OSIS. Karena menurut saya itu adalah hal produktif dari pada beraktivitas yang tidak jelas, maka saya menyetujui dia menjalani kegiatan seperti itu. Saya sendiri hanya sesekali mengingatkan untuk jaga kesehatan, jangan terlalu cape dan tidur yang cukup.
Dalam kesehariannya, ia tidak sekali terlambat pulang. Katanya kadang karena kegiatan yang ngaret, les yang nambah waktu, mengantar temannya yang sudah mendapat angkot sampai ban motornya bocor dan susah mencari tambal ban. Sampai hal seperti itu saya masih membiarkannya. Mengantar teman yang susah mendapat angkot adalah hal yang baik.Juga dengan acara kongkow-kongkow sejenak setelah les yang bisa bikin terlambat pulang, saya anggap itu baik untuk kehiidupannya kelak.
Namun tidak dengan istri saya, terlambat sedikit, dia sudah mulai gelisah. Jika terlambat setengah jam saja, istri saya mulai kontak teman-temannya barangkali ia sedang bersamanya. Untuk hal itu, istri saya cukup antisipatif mencatat nomor-nomor hape dan nomor telepon rumah teman-temannya.
Memang, di luar sepengetahuan istri, saya banyak memberikan wawasan kehidupan pada anak yang sudah ABG tersebut, tentang pergaulan yang baik, tentang hati-hati berkendara, pasang mata dan telinga agar tidak terjebak tawuran dan sebagainya. Sampai saat ini saya masih percaya bahwa anak saya ada di pergaulan yang sehat sehingga belum ada yang perlu dikhawatirkan.
Suatu ketika, dia belum pulang lebih dari satu jam dari biasanya. Hapenyapun tidak bisa dihubungi. Istri saya sudah sangat gelisah dan meminta saya untuk mencarinya ke rumah teman-temannya yang biasa dia kunjungi. Meski saya juga turut khawatir, saya sedikit menenangkan istri saya untuk membiarkan saja karena dia sudah besar dan sudah harus dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Tetapi istri saya ngotot, takut terjadi kecelakaan atau apa di luar sana dan tetap menyuruh saya mencari ke rumah teman-temannya yang saya ketahui. Akhirnya saya menyanggupi, kalau sampai jam 10 malam belum sampai atau belum dapat kontak, saya akan mencarinya.
Sekitar jam 9, anak saya telepon bahwa ban motornya gembos tetapi di kata tukang tambal ban tidak bisa dibal lagi, sedangkan dia tidak memiliki persediaan baru sehingga harus mencari ke tempat lain dulu. Dia mengatakan baru bisa ngontak karena tadi hapenya mati dan baru aktif kebetulan bisa ngecas di tempat tambal ban tersebut setelah dikasih pinjaman charger.
Anak saya ke sekolah memang pake motor yang cukup jadul sehingga beberapa kali mendapat masalah. Meski istri saya selalu berpesan jika motornya bermasalah agar segera menelepon saya, namun ia sepertinya sedang belajar menghadapi masalah kehidupannya sendiri.
Yaah, kadang kita lupa kalau anak-anak itu sudah besar dan mereka mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Mungkin karena kita masih merasakan masa-masa kecil saat membesarkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H