Sepertinya akhir-akhir ini bangsa kita sedang demam mengadakan even-even yang melibatkan banyak massa. Sebut saja kampanye parpol, jalan santai, nonton bareng, sampai konser-konser berkelas nasional hingga kampungan. Dan even masal yang beberapa waktu lalu sempat menjadi headline di sejumlah media cetak maupun elektronik adalah doa bersama menjelang unas.
Entah karena faktor apa setiap sekolah seakan sepakat harus mencanangkan program ini dan wajib diikuti oleh segenap warga sekolah, khususnya siswa kelas XII, IX atau IV yang akan menjadi aktor dalam unas. Rasanya kurang afdol jika tak mengadakan kegiatan masal ini. Memang benar, segala bentuk ikhtiar yang telah dilakukan harus ada yang namanya doa dan tawakal. Jika niat awal adalah agar diberi kalancaran dan kesuksesan selama prosesi unas sih masih dalam taraf wajar. Yang jadi masalah, jangan-jangan pihak sekolah hanya ikut-ikutan tren yang sedang marak. Melihat sekolah tetangga juga ada doa bersamanya, gengsi dong jika di sekolah kita sepi tak mengadakan apa-apa. Apalagi untuk mensukseskan agenda seperti itu tentunya butuh biaya juga. Ujung-ujungnya ada iuran tambahan yang dibebankan kepada siswa. Yah, semoga dugaan seprti ini hanya sebatas dugaan yang tak terjadi di lapangan.
Terlepas dari fenomena menjamurnya doa bersama ini sepertinya ada beberapa hal yang perlu ditilik lebih lanjut. Benarkah yang kita lakukan itu adalah berdoa?
Berdoa merupakan konsekuensi wajib yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba terhadap Tuhannya. Dengan berdoa kita mengakui ketidakberdayaan kita dan keperkasaan Allah. Secara eksplisit bahkan Allah telah memerintahkan kita untuk berdoa. Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepadaKu niscaya akan Aku penuhi bagimu (QS Al Mukminun ).
Namun kebanyakan kita hanya melihat tampilan luar perintah itu tanpa mengkajinya lebih lanjut. Sehingga fenomena yang terjadi banyak orang berdoa dan marak diadakan doa bersama yang tak jarang terasa hambar tak memberi bekas apa-apa karena hanya berisi kepentingan pribadi sang pendoa. Bukan lagi wujud kepasrahan seorang papa. Berdoapun akhirnya menyesuaikan kepentingannya masing-masing. Yang sedang menjalani niaga berharap bisnisnya lancar, berkembang dan banjir keuntungan. Yang naksir seseorang berharap semoga yang ia sukai segera menjadi kekasihnya. Yang menjadi kandidat ketua (RT, RW, Lurah, Camat, Bupati dst) berharap semoga ‘perjuangannya’ dalam menarik simpati masyarakat tak sia-sia dengan terpilih menjadi ketua. Yang sedang menghadapi ujian tertulis berharap semoga diberi kemudahan dalam mengerjakannya dan lulus 100%. Dan seterusnya.
Mungkin pikir kita, mumpung diberi kesempatan untuk meminta, mintalah apa yang menjadi keinginan kita. Tak ubahnya ketika kita sedang lapar kemudian ada yang menawarkan hidangan apapun yang kita mau. Bisa ditebak semua yang enak, nikmat dan pastinya yang tak bisa kita dapatkan dengan kemampuan kita. Jika sudah seperti ini bukan lagi nurani yang berdoa melainkan nafsu yang menuntut untuk mendapatkan lebih keinginannya. Pada akhirnya berdoa menjadi topeng untuk menutupi kepentingan nafsu dan segala motifnya.
Nafsu merupakan satu paket anugerah dengan akal yang diberikan Allah kepada manusia yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Tanpa akal ia tak bisa disebut manusia. Karena akallah yang membedakan manusia dengan hewan yang hanya mempunyai nafsu. Begitu pula tanpa adanya nafsu ia juga tak bisa disebut manusia. Hanya malaikat saja mahluk yang tak diberi nafsu oleh Allah dan manusia bukanlah malaikat. Karenanya dengan adanya keseimbangan antara nafsu dan akal manusia akan menjadi manusia sejati yang bahkan kualitasnya bisa melebihi malaikat yang senantiasa beribadah tanpa mengenal apa itu maksiat. Sebaliknya jika keduanya tak imbang bisa dipastikan nafsulah yang akan mengendalikannya. Dan pada akhirnya kelakuannya tak berbeda dengan dengan hewan, bahkan bisa lebih hina.
Karenanya ada yang mengungkapkan nafsu bagi jiwa manusia ibarat WC dalam sebuah rumah. Semua orang menganggapnya hina dan menjijikkan, namun keberadaannya sangat vital dan tak bisa dihilangkan. Karena memang ia dibutuhkan. Begitu pula nafsu. Disamping akal, ia menjadi identitas bagi manusia.
Walau begitu banyak petuah bijak yang menyerukan bahaya dari nafsu itu sendiri. Ia seakan harus dicap sebagai antagonis yang disalahkan, namun selalu ada dan memang tak bisa dihilangkan. Ibarat anjing galak nafsu bisa menjadi liar dan menyerang apapun yang ada di depanya. Jika kita berusaha lari darinya ia akan terus mengejar dan bisa dipastikan kita akan terkejar dan diterkamnya. Jika kita lawan bisa dipastikan kita akan kalah karena anjing liar yang sedang kalap tak akan menyerah sebelum menang. Satu-satunya cara adalah meminta sang majikan untuk mengendalikannya. Karena anjing adalah binatang yang paling setia dengan tuannya, seliar apapun ia. Karenanya hanya dengan kendali majikan ia bisa dijinakkan.
Dalam hal ini yang menjadi majikan dan pemilik nafsu bukanlah diri kita namun Allah yang telah menciptakan dan menganugerahkannya kepada kita. Bagaimana caranya? Sebagai hamba untuk bisa meminta sesuatu kepada Tuhan tentu hanya dengan berdoa agar Ia mengendalikan nafsu kita. Sayang, bukannya memohon agar nafsu kita diredam doa kita selama ini malah merupakan keinginan nafsu itu sendiri. Itu berarti binatang buas yang bernama nafsu itu sudah sukses menerkam nurani diri kita.
Dalam mengatasi tingkah anjing galak ini tentu sang majikan lebih mengetahui bagaimana daripada kita. Mungkin permintaan kita agar si anjing diusir atau dipukul saja tak sesuai dengan kehendak majikan. Bisa saja hanya dengan sekali siulan majikan si anjing langsung bisa jinak. Begitu halnya dengan berdoa. Ketika kita diberi persoalan oleh Allah, Ia selalu mempunyai solusi yang mungkin berbeda dengan jalan pikiran kita. Dan bagaimanapun juga cara Allahlah yang paling benar dan membuahkan manfaat bagi kita juga. Karena Dia lebih mengetahui mahluk yang bernama masalah daripada kita yang notabene juga merupakan mahlukNya.