Lihat ke Halaman Asli

Pergulatan Islam, Kebudayaan dan Modernitas

Diperbarui: 14 November 2017   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam konteks bangsa kita, Indonesia, pondok pesantren bukan hanya membangun tradisi ilmiah (keilmuan) dengan kiai dan ajengansebagai sentral intelektual par-excellent, tetapi juga telah membangun tradisi maupun budaya yang memosisikan masyarakat tidak hanya sebagai obyek, melainkan sebagai subyek yang kelak secara bersamaan menyusun "strategi kebudayaan". 

Di sini, kreatifitas dalam tradisi dan kebudayaan berkaitan dengan konteks makro perubahan-perubahan yang ada pada lapis struktur masyarakat yang sangat beragam.

Menurut mantan Presiden RI sekaligus mantan ketua umum PBNU Abdurrahman Wahid, pondok pesantren merupakan sub-kultur, artinya di satu sisi, dalam komunitas pesantren, proses rekonstruksi kebudayaan (culture) dan pertumbuhannya senantiasa bertolak dalam bingkai tradisi keilmuan dengan meletakkan (pengetahuan) agama sebagai mainstream.

Di sisi lain, berbagai model tradisi serta budaya telah menjadi subyek dari "ruh" kultur pondok pesantren itu sendiri. Antara tradisi keilmuan dan transformasi budaya dalam komunitas pondok pesantren saling melengkapi, saling menghidupi, dan saling menyentuh satu dengan yang lain.

Dari ide dasar di atas, maka pondok pesantren pada setiap gerak perjalanannya ingin mempertemukan tradisi keilmuan dan transformasi budaya sebagai ikhtiar untuk mencetuskan gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran yang pada komunitas pesantren itu sendiri, disadari atau tidak, sering kali dinafikan sekaligus terpinggirkan.

Dari sini pulalah, beberapa pendiri pesantren mencoba menyusun gagasan dan pemikiran yang bersifat emansipatoris dan eksploratif. Entah bernuansa keagamaan atau kebudayaan; lebih dekat dengan problem besar keberagamaan kita; lebih mengarah pada fenomena kebudayaan, atau apakah keseluruhan soal-soal di atas hendak dipertemukan dalam satu momentum "budaya pesantren" ?

Setidaknya, ikhtiar itu memberikan indikator dari apa yang telah dikemukakan dalam uraian awal. Pertama,pengkajian terhadap pengetahuan keagamaan merupakan bagian dari sikap emansipatif. Dan kedua, proses tranformasi ke arah kebudayaan bagaimana pun merupakan indikator dari adanya suatu sikap eksploratif.

Antara Keotentikan dan Kemodernan

Pesantren, dari aspek bahasa berasal dari kata "santri" yang diberi awalan "pe" di depan dan akhiran "an", berarti asrama tempat tinggal para santri (Dhofier, 1985:18). Menurut Wahid (2001:171), "pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas."

Pesantren mempunyai tradisi (al-turts) khas yang merupakan---meminjam istilah Hassan Hanafi---khazanah kejiwaan (makhzun al-nafs) yang bersifat material dan imaterial yang dikembangkan untuk melahirkan pemikiran yang progresif-transformatif dalam upaya membangun masyarakat.

Pesantren acapkali bersifat fleksibel dan toleran sehingga jauh dari watak radikal, apalagi ekstrem, misalnya dalam menyikapi masalah sosial, politik, maupun kebangsaan. Karena punya watak dan tradisi yang fleksibel dan toleran, maka pesantren mampu menjembatani problem keotentikan dan kemodernan (musykilah al-ashalah wa al-hadatsah) secara harmonis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline