Lihat ke Halaman Asli

Iduladha Memperkuat Solidaritas Kemanusiaan

Diperbarui: 30 Agustus 2017   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Hakikat Idul Adha adalah kembali kepada pemahaman nilai qurban yang  berpangkal dan konsep keimanan dan kemanusiaan, dua pilar terpenting  peradaban manusia. 

 Kata "qurban" mengandung tiga makna yang  sarat dengan pelajaran moral (i'tibar) yang bisa membekali manusia untuk  memperjuangkan nilai-nilai Ilahiah serta kemanusiaan, terutama bagi  bangsa Indonesia yang saat ini diuji oleh sindikat penyebar kebencian  berbasis SARA seperti yang dilakukan SARACEN.

 Makna Pertama

 Pertama, qurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah.  Kedekatan antara hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi  jika sang hamba berjiwa kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat.  Untuk itu, ketika takbir Idul Adhadatang menyapa relung batin manusia,  maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup nafsu, ambisi, dan  kepentingan pribadi harus tergugah.

 Allah Maha Dekat yang  kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan  keseriusan berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang  selama ini telah ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan  kepongahan.

 Zikir kepada Allah (dzikrullh) adalah upaya untuk  menyucikan hati, menenteramkan hati, dan mengkhusukkan kalbu sehingga  seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi terhadap kesalahan  dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang lain.

  Kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa  diminimalisir, bahkan ditepis dengan zikir. Dengan zikir, hati yang  selama ini gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga  prasangka, dendam, dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih.

  Ketika Kita diterpa musibah dan bencana silih berganti, hati yang gelap  pun bertanya, "Di manakah pertolongan Allah?" Pertanyaan ini muncul dari  keraguan dan prasangka terhadap Allah. Selama ini, orang yang mengharap  pertolongan Allah justru sering berbuat aniaya terhadap dirinya dan  orang lain (zalim).

 Manusia yang hatinya gelap juga gemar  menghujat ajaran kelompok lain yang dirasa berbeda, tetapi perilaku  serta ajaran yang dihujat justru tumbuh subur dalam aliran darah yang  menghujat. Orang seperti itu sering mengutuk, mencaci, dan menghina  orang lain, tetapi diam-diam (sadar atau tidak) ia ternyata menggantikan  kemungkaran dan kebiadaban orang yang dikutuknya.

 Jiwa yang  kosong dari dzikrullh acapkali senang dalam suasana perpecahan, bukan  kebersamaan. Ia tenggelam dalam belenggu perang saudara, bukan  penyembuhan luka bangsa. Perpecahan dan perang saudara tentu saja  mengakibatkan kesengsaraan batin, selain juga merupakan tabungan dosa  yang menjadi tirai penutup kedekatan seseorang kepada Allah.

 Makna Kedua

 Kedua, qurban merupakan konsep pengurbanan yang dilandasi keikhlasan  dalam menjalankan pengabdian, tugas, dan perjuangan tanpa mengharapkan  balasan dan pujian serta keuntungan materi yang menjadikan nilai  kesalehan menjadi sia-sia.

 Keikhlasan dan ketulusan jiwa akan  memunculkan ketegaran dan keistiqamahan, meskipun seseorang diasingkan,  dikucilkan, dan ditinggalkan oleh masyarakat yang telah terpedaya hawa  nafsu. Lebih dari itu, rasa ikhlas yang sejati akan membuat hidup  seseorang selalu merasa memeroleh kemenangan dalam kekalahan, kenyang  dalam kelaparan, cukup dalam kekurangan, aman dalam ketakutan, dan  selalu optimis meskipun derita datang mendera.

 Kehancuran bangsa dan negara ini akan terjadi karena menipis dan memudarnya rasa pengurbanan warga negara---khususnya  para pemimpin dan elit politik---untuk menegakkan keadilan dan  kemakmuran. Yang mereka pikirkan adalah: "Apa yang dapat diperoleh dari  negara ini, bukan apa yang dapat diberikan kepada bangsa dan negara."

 Di masa " kerja Bersama " ini masih ada para penguasa (elit politik dan  elit ekonomi) justru mengorbankan rakyat kebanyakan, khususnya kaum  lapis bawah. Para penguasa itu bersimpang jalan dengan semangat  "qurban". Mereka berwatak serakah dan materialistik. Mereka mengkhianati  rakyat dengan prilaku korupsi seperti yang terjadi di beberapa  Kementrian, Pemda dan Anggota Legeslatif.

 Tujuan pendek dan  kesenangan sesaat yang acapkali menipu dan mengelabui akan sirna oleh  keikhlasan yang muncul dari pribadi yang selalu mengharap Cahaya Allah.  Kita sebaiknya bercermin dari ketulusan (keikhlasan) dan keberanian para  Nabi dan Rasul untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Suatu  pengabdian dan perjuangan yang tulus akan mendapatkan balasan yang  setimpal dari Allah Swt.

 Sosok yang ikhlas dan siap berkurban  biasanya akan tegar mengalami penderitaan dan cobaan. Ia juga tabah  dalam hujatan dan caci maki. Ibarat lilin, ia membiarkan dirinya  terbakar agar memancarkan cahaya yang mampu menerangi saudara, tetangga,  masyarakat, dan generasi yang akan datang.

 Keikhlasan akan  menjauhkan seseorang dari sikap zalim. Orang yang zalim mencoba meraih  kesuksesan di atas penderitaan, kepedihan, dan kesusahan orang lain.  Orang yang zalim akan selalu berkhianat dan menjadikan orang lain  sebagai tumbal untuk mengeruk keuntungan. Kesuksesan umat untuk keluar  dari bencana dan tragedi kemanusiaan tergantung pada keikhlasan,  ketulusan, dan pengabdian mereka demi mengharap ridha Allah semata.

 Makna Ketiga 

 Ketiga,qurban yang disimbolkan dengan menyembelih hewan merupakan suatu  teladan dari Nabi Ibrahim saat diperintah oleh Allah untuk mengurbankan  Ismail, putra terkasihnya.

 Teladan agung tersebut  seharusnya mampu menyentuh kesadaran intelektual dan imajinasi seorang  hamba. Tindakan Nabi Ibrahim merupakan simbol kemenangan seorang manusia  atas nafsu hewaniah, ego kecil, romantisme kepentingan pribadi, dan  sentimentalitas cinta kasih lokal.

 Manusia sebenarnya telah mengenal konsep "qurban" sejak dahulu; bahkan  sejak masa Habil dan Kabil, dua putra Nabi Adam yang diperintahkan  "berkurban" untuk menguji ketulusan mereka berdua di hadapan Allah. Dari  kisah Habil dan Kabil bisa diambil pelajaran bahwa Allah menerima  "qurban" yang dipersembahkan seseorang bukan dari bentuk lahiriah  sesuatu yang dikurbankan, melainkan dari ketulusan jiwa yang berkurban.

 Semangat berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim bukanlah perbuatan  untuk mengurbankan manusia lainnya demi tujuan dan keuntungan sesaat  yang keji sebagaimana dilakukan para penguasa lalim sepanjang sejarah,  melainkan suatu sikap untuk menyerahkan sesuatu yang dititipkan oleh  Allah.

 Ketika Allah telah dinomorsatukan dalam kehidupan, maka demi mempertahankan aqidah yang mengharuskankejujuran, keadilan, dan ketulusan, apapun siap dikurbankan, entah materi, pangkat, jabatan, nama baik, dan nyawa sekalipun. 

 Hal itu telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim yang mengajarkan kepasrahan  dan kerelaan demi mengesakan Allah. Dalam kehidupan modern, peristiwa  yang dialami Nabi Ibrahim sering terlupakan. Padahal, dari sana bisa  ditarik pelajaran berharga bahwa Allah sangat mengasihi umat manusia  karena manusia tidak boleh dikurbankan dan diganti dengan hewan.

Dengan semangat Idul Qurban, manusia harus mampu "menyembelih" watak  buruk dan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya; seperti rakus,  serakah, zalim, menindas, dan tidak mengenal hukum dan norma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline