Minggu lalu ketika saya pulang kampung, saya begitu asyik memperhatikan adik-adik yang khusuk melihat serial animasi asal Malaysia : Ipin-Upin. Saya ketawa kecut saat lihat di layar kaca ternyata dibubuhkan pula teks terjemahan dari percakapan bahasa Melayu dari tokoh-tokoh dalam serial tersebut. Namun dari kecutnya tawa saya ini, saya tergelitik untuk mengetahui lebih dalam perkembangan Bahasa Melayu di Indonesia sehingga berwujud menjadi bahasa Indonesia seperti sekarang.
Sejak era penjelajahan dunia timur, bangsa Eropa telah menyadari akan pentingnya Bahasa Melayu di wilayah kepulauan Hindia. van Linschoten menyebut pentingnya bahasa Melayu ini seperti pentingnya bahasa Perancis untuk kaum terdidik di Eropa. Sehingga penjelajah diwajibkan untuk mengerti Bahasa Melayu.
Berbeda dengan bangsa Eropa lainnya, Belanda melakukan eksklusivitas terhadap Bahasa Belanda. Dari awal menjejakkan kaki di Banten sampai menyerah ke Jepang, Bahasa Belanda hanya digunakan di lingkungan strata sosial tertentu. Untuk komunikasi dengan inlander, Belanda menggunakan bahasa daerah tersebut atau Bahasa Melayu. Hal tersebut diperkuat dengan dididiknya para calon pegawai pemerintah di Delft mengenai tata norma dan kebudayaan masyarakat Hindia Belanda.
Hal nyata untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca terjadi pada pertengahan abad 19. Pelopornya adalah Hillebrandus Cornelius Klinkert (1829-1913), dia adalah seorang pengabar Injil Menonite. Klinkert menyadari agar firman tuhan dapat ditangkap lebih banyak oleh jemaat maka dia harus pergi ke sumber bahasa yang dimengerti oleh hampir seluruh penduduk Hindia-Belanda : Riau. Sebagai wilayah Hindia Belanda Riau sebelumnya tidak terlalu dilirik karena tidak memiliki komoditas ekonomi, namun Klinkert menyadari Riau memiliki Komoditas lain yaitu Bahasa. [caption id="attachment_239845" align="aligncenter" width="244" caption="HC Klinkert (1829-1913)"][/caption]
Di Riau, Klinkert bertemu dengan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang tersohor karena karya-karya tulisannya dan kedekatannya dengan bangsa barat. Klinkert begitu mengagumi bahasa Abdullah, hal berbeda dilakukan oleh Inggris yang menganggap rendah bahasa dari karya Abdullah karena terlalu “modern” tidak seperti bahasa dalam Sulalatus salatin yang dianggap bahasa Melayu Tinggi. Setelah mendapatkan tinta emas untuk menorehkan ayat-ayat tuhan, Klinkert menerjemahkan Bibel dalam bahasa Melayu, 1870, dan kamus Melayu – Belanda. Karya klinkert mendapat sambutan hangat dari masyarakat.
[caption id="attachment_239847" align="aligncenter" width="285" caption="Salah satu terjemahan Klinkert (Kitab Indjil Soetji : Johannes)"]
[/caption] Di sisi lain pada akhir abad 19 pemerintah Hindia-Belanda melalui direktur pendidikannya, Snouck Hurgronje, merasa perlu mencari altenatifbahasa untuk administrasi pemerintahan selain bahasa Belanda. Dipilih lah opsi dua bahasa untuk keperluan ini : Bahasa Jawa dan Melayu. Bahasa Jawa dipilih dengan mempertimbangkan mayoritas populasi penduduk Hindia-Belanda adalah suku Jawa; Namun dalam kenyataannya Bahasa Jawa sulit untuk dipraktekkan karena sifat Bahasa Jawa yang mengenal tingkatan sosial penggunanya. Dengan sebab demikian, Bahasa Melayu menjadi pilihan dan diangkat sebagai bahasa administrasi karena sifat kesetaraan dan bahasa pasarnya ini. [caption id="attachment_239848" align="aligncenter" width="407" caption="Snouck Hurgronje (1857 �1936)"]
[/caption]
Terpilihnya Bahasa Melayu sebagai bahasa kedua menjadikan bahasa ini kokoh dan tersebar dengan leluasa apalagi setelah van Ophuijsen (1901) mengeluarkan ejaan baku dalam tulis menulis dan salah satu faedah utamanya yaitu untuk transliterasi Bahasa Melayu yang notabenenya ditulis dalam huruf Jawi. Cengkraman dan cakupan Bahasa Melayu semakin menggurita setelah 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Balai Pustaka karena Mayoritas terbitan Balai Pustaka adalah buku-buku berbahasa Melayu. Bahasa Melayu olahan Belanda ini lambat laun tumbuh dewasa dan meninggalkan kesan melayunya apalagi setelah dicuri oleh para inlander dan diganti nama menjadi Bahasa Indonesia pada kongres pemuda kedua.
Daftar pustaka :
Hoffman, John. 1979. A Foreign Investment : Indies Malay to 1901. Indonesia. No. 27 pp. 69-91 . Southeast Asia Program Publictions at Cornell University : Ithaca.
Paauw, Scott. 2009. One Land, One Nation, One Language : An Analysis of Indonesia’s National Language Policy. Univeristy of Rochester Working Papers In The Language Science Vol. 5 No.1 : Rochester.
Sweeney, Amin. 2011. Pucuk Gunung Es : kelisanan dan keberaksaraan dalam kebudayaan Melayu-Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta.
http://www.sabda.org/sabdaweb/bible/chapter/?b=48&version=kl_1863&altver[]=tb dilihat pada 23 April 2013 pukul 15.00
http://www.sabda.org/sabdaweb/bible/chapter/?b=62&c=1&version=kl_1870&altver%5B%5D=tb&view=column&lang=indonesia&theme=clearsky dilihat pada 23 April 2013 pukul 15.00
http://www.sabda.org/sejarah/sejarah/ver_klinkert.htm dilihat pada 23 April 2013 pukul 15.20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H