(1)
Padahal, aku sangat suka pelangi!
“Anak-anak dilarang melihat pelangi!” begitulah tulisan pada papan kayu yang telah dipasang belasan tahun lalu hampir di setiap sudut jalan kecil di kampungku. Papan itu dipasang setelah si Nam, anak tetua kampung mendadak gila. Konon, kata dukun paling sakti yang dipercayai Tetua, si Nam gila sebab mellihat pelangi tiga hari sebelumnya. Sebenarnya aku tidak percaya pada perkataan dukun itu sebab yang melihat pelangi saat itu bukan hanya si Nam, tetapi juga aku, Drus, Cok, dan dua anak lagi yang tidak aku kenali namanya sebab anak kampung sebelah. Kenapa kami yang berlima tidak gila padahal sama-sama melihat pelangi seperti si Nam? Saat itu aku ingin protes terhadap larangan itu. Tapi, Ibuku saja, waktu aku sampaikan bahwa alasan pelarangan itu tidak benar, ia selalu berkata, “Huss, anak kecil tidak boleh membantah. Kamu masih terlalu kecil belum mengerti apa-apa. Nanti, ketika kamu sudah pintar, kamu boleh mempertanyakan lagi larangan itu, ya, Nak.”
Setelah pemasangan papan larangan itu, kami tidak pernah lagi melihat si Nam. Lagi-lagi, aku hanya mendengar kata orang bahwa konon si Nam dibawa Tetua ke Pulau Luar, entah di mana itu. Tapi, sejak itu, ketika hujan turun di kampung kami, lalu diikuti cerah sinar matahari di mana biasanya pelangi akan muncul, anak-anak kecil tidak boleh keluar rumah, apalagi berlari-lari, bermain-main menikmati pelangi. Kalau ada orang tua yang membiarkan anaknya keluar melihat pelangi, Tetua tidak segan menghukum orang tua itu, bahkan Tetua mengancam akan mengusirnya.
Padahal, aku sangat suka akan pelangi!
Ibuku sering mendongengkan kisah tentang laki-laki yang menikahi bidadari. Konon, kata Ibu, pelangi itulah yang dipakai para bidadari turun ke bumi. Mereka mandi di danau yang airnya sebening embun pagi di pucuk ilalang. Tidak, laki-laki itu tidak mengintip mereka mandi! Tapi, ia sengaja tiba-tiba muncul dan melompat menceburkan dirinya ke tengah-tengah bidadari-bidadari itu. Maka, para bidadari itu panik, bergegas naik ke darat, memakai selendangnya, lalu terbang ke langit. Dan, danau pun sepi. Tinggal laki-laki itu sendiri, berenang-renang di tengah danau. Setiap ada pelangi, laki-laki itu tahu bahwa pasti ada bidadari maka ia pun akan berlari secepat kilat ke ujung pelangi, lalu ia pun akan muncul mengejutkan lagi para bidadari. Begitulah, yang laki-laki itu lakukan setiap ada pelangi. Pada akhirnya, para bidadari itu meminta adik mereka yang paling cantik agar sudi menikah dengan laki-laki itu sehingga para bidadari bisa mandi tanpa diganggu lagi.
Pada satu pagi, bidadari itu turun diiringi bidadari lainnya. Ia menemui laki-laki itu di hamparan ilalang saat laki-laki itu membabat ilalang untuk atap rumahnya. “Menikahlah denganku,” kata bidadari itu, “tapi, jangan lagi engkau kejar pelangi dan ganggu para bidadari yang sedang mandi.”
Laki-laki itu pun tersenyum. “Sejak hari ini, engkau adalah istriku,” begitu kata laki-laki itu. Ada angin yang berdesir di atas pucuk-pucuk ilalang. Tiba-tiba, muncul ribuan pelangi, petanda mereka direstui para penghuni langit.
Setiap kali dongeng Ibuku berakhir, aku selalu bertanya pada Ibuku, “Bu, apakah bidadari itu cantik?” Ibuku tak pernah menjawabnya, tapi selalu mengangguk sambil diusapnya kepalaku.
“Aku ingin menikahi bidadari, Bu.” Itu mimpiku.
Tapi, bagaimana mungkin aku menemukan bidadari jika melihat pelangi saja dilarang. Ya, aku benci papan larangan itu. Sangat benci pada Tetua. Dan, aku menangis berhari-hari lamanya jika mengingat itu.