Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Membaca The Smiling Death

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1384222902664956959

Saya meletakkan buku itu di antara deretan buku pada perpustakaan saya. Begitu caya saya menghormati buku, setelah cara pertama membacanya, dan cara kedua mereviewnya. Belumlah lama saya berdepan-depan dengan buku "Theory of the Novel", sebuah buku tebal 900-an halaman. Yang menuntun saya mulai meletakkan novel sebagai sebuah genre kesusastraan, bukan sebagai "biang" bagi genre di bawahnya. Ah, kalimatnya saya rumit banget. Maksudnya, bukan sebagai sebuah hipernim bagi genre-genre yang ditempatkan sebagai hiponimnya.Sudahlah, abaikan saja buku itu tokh saya tidak ingin membicarakan buku itu. Kali ini saya hanya sedikit saja berbicara tentang novel "The Smiling Death" alias "Senyuman berbisa". Tapi, jujur saja saya baru membaca sampai 42 halaman. Namun, itu sudah cukup membuat saya "orgasme" dua kali. Bayangkan dua kali berturut-turut. Baiklah, saya akan ceritakan "pengalaman" saya membaca novel itu. Sekali lagi, pengalaman saya saja, saya tidak akan melakukan aksi intelektual terhadap novel ini. Walaaah, bahasanya sok keren sih saya nih. Waktu saya membaca halaman-halaman pertama, tiba-tiba saja saya ingat novel klasik kita "Belenggu". Betul,kontras sekali dibandingkan dengan novel ini. Belenggu dibuka dengan pengambaran situasi rumah tangga Tono-Tini yang tidak romantis, tetapi novel ini dibuka dengan "persiapan malam pertama", sangat romantis pada awalnya hingga akhirnya saya dikejutkan oleh "peristiwa" selanjutnya, yang menyebabkan malam pertama itu tidak lagi romantis, melainkan sedikit histeris. Kedua, novel ini pun tiba-tiba saja mengingatkan saya pada novelet "Raumanen". Hampir sama dalam sajian penceritaan. Novelet Raumanen setiap babnya diawali oleh sebuah teks/wacana yang berisi "pengakuan" para tokohnya baik Monang maupun Manen. Nada pada teks itu cenderung murung. Nah, novel Erri dan Arimbi ini pun mirip sepert itu. Bedaanya adalah mereka berdua menyajikan puisi-puisi yang mengawali setiap babnya. Saya membaca puisi itu, rasanya nadanya pun agak sedikit murung. Ah,mungkin saya salah, bisa jadi, kemarin 30 menit kehujanan naik motor di Cianjur cukup membuat saya menggigil. Ketiga, fiksionalitas. Hmm, saya sering memegang teguh fiksionalitas. Tapi, saya ditawari informasi yang tidak fiksionalitas, seperti HIPMI dan Pertamina. Itu real! Nah, ini pula mengingatkan saya ke pada novel "Ladang Perminus" yang mengkritik praktik korupsi di Pertamina zaman baheula. Ya, ya, saya maklum, dalam Ladang Perminus ada kritikan tajam jadi perlu sedikit diubah agar kefiksiannya benar-benar diterima. Ah, itu saja pengalaman saya. Soal judul,jujur saya bingung nulisnya. Beginikah, "the smiling death: Senyuman Berbisa", ataukah "the smiling death/senyuman berbisa"? Hmm, ini pun mengingatkan saya kepada novel "Silence" karya Shusaku Endo yang diterjemahkan menjadi "Hening", di cover dua kata itu muncul. Bagaimana menuliskannya? Tambun selatan, 12 November 2013 [caption id="attachment_277517" align="aligncenter" width="442" caption="The Smiling Death: Senyuman Berbisa, karya Erri Surbakti dan Arimbi Bimoseno"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline