Lihat ke Halaman Asli

Duyung! Duyung!

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Admin (KFK.KOMPAS.com/Paulus Agustinus)"][/caption]

Nayan Tua, kepala kampung kami, sudah mewanti-wanti kami agar tidak mendekati batu karang itu apa pun alasannya. Tapi, setelah sepuluh hari kami tak mendapat ikan, rasanya keputusan mendekati batu karang itu adalah keputusan terbaik. Entah ke mana ikan-ikan itu. Kami hanya bisa mendapat ikan buat kebutuhan makan kami di perahu, sedangkan ikan untuk kami bawa pulang, tidak ada. Di sekitar batu karang itu, sejak nenek moyang kami, terkenal banyak ikannya. Selain besar-besar, ikan di sana pun dagingnya terasa lebih gurih dibanding ikan sejenis dari tempat lain. Hanya saja, datang ke sana ibarat menyetorkan nyawa sebab daerah sekitar batu karang adalah kekuasaan duyung. Ya, betul duyung. Di tempat lain, duyung digambarkan sebagai perempuan cantik setengah ikan yang senang berkawan dengan manusia. Tapi, bagi nelayan kampung kami, duyung itu adalah makhluk lautan yang mengerikan.

Menurut mitos kami, duyung tidak akan pernah mengizinkan seorang manusia pun memasuki wilayahnya. Jika ada yang berani memasuki wilayahnya, manusia itu tidak akan bisa kembali ke daratan, lama-lama manusia itu akan menjadi duyung, dan lupa akan asal-usulnya. Ya, mitos di tempat kami, duyung adalah manusia yang tersesat di lautan sebab melanggar pantangan.  Mereka mengalami metamorfosis yang konon sangat menyakitkan sehingga sering terdengar seperti lolongan kesakitan dari tengah lautan. Bagi anak pantai di kampung nelayanku, lolongan itu sudah sering kami dengar waktu kami kecil. Saat aku kecil, kalau mendengar lolongan itu pada malam hari, maka aku sering menyelusup pada tubuh ibuku yang pulas tertidur. Kata tetua kampung, duyung tidak selalu perempuan. Duyung pun bisa laki-laki. Duyung perempuan akan muncul saat jumlah duyung berkurang. Duyung perempuan menggoda nelayan yang semuanya laki-laki sehingga tidak sadar masuk ke wilayahnya. Soal itu Nayan Tua sering mengingatkan, “Kalian harus segera menghindar jika melihat perempuan cantik di tengah laut di dekat batu karang itu. Itu pasti duyung perempuan!”

Sepuluh hari kami berkeluh kesah. Lautan seperti menyembunyikan ikan-ikannya pada kami. Jaring yang kami tebar di lautan hanya membuang-buang tenaga. Ikan yang tersangkut pada jaring hanya satu hingga dua ekor. “Bagaimana dengan anak-anak dan istri-istri kami?” begitulah yang kami pikirkan hampir sepanjang hari dan malam.

Hingga pada akhirnya di tengah keputusasaan kami terdengar suara.  “Kita mesti berperahu ke arah batu karang itu.” Sebuah usulan gila diungkapkan salah satu di antara kami. Dan, kami tahu siapa yang bicara. Kami pun berdebat.Tapi, akhirnya kami harus mencoba, ya mencoba peruntungan baik kami. “Ya, kita hanya berperahu ke arah batu karang itu. Bukan mendekati batu karang itu. Siapa tahu masih jauh-jauh dari sana, ikan sudah banyak terkena jaring.”

Saat perahu mulai mengarah ke arah batu karang itu, wajah-wajah di atas perahu tampak kian tegang. Memang batas wilayah kekuasaan duyung tidak ada yang tahu pasti.  Kata para tetua kampung, wilayah duyung itu menyerupai lingkaran dengan titik tengahnya batu karang itu. Adapun panjang jari-jarinya bisa seratus hingga lima tombakan. Ah, itu sekadar perkiraan saja. Tapi, jika wilayah duyung itu lebih dekat ke batu karang itu mungkin lebih baik. Sarja yang tampangnya keras pun seperti menahan rasa takut yang luar biasa, padahal konon semua hantu di darat sudah pernah diajaknya berkelahi. Apalagi Badrun, sejak tadi ia hanya duduk di pojok perahu dengan mulut tak henti-hentinya komat-kamit, entah apa yang dibacanya. Sukat lain lagi. Ia duduk di pinggir perahu dengan dayung yang diturunkannya ke laut. Tangannya gemetaran sebab kami dengar bunyi kayu dayung yang beradu-adu dengan kayu perahu.  Mungkin hanya Kampiun yang agak tenang. Sebagai anak sulung Nayan Tua, Kampiun sangat kami segani. Secara usia, Kampiun paling tua. Di kampung kami, Kampiun dihormati sebab pandai bersilat dan pernah beberapa tahun berlayar ke beberapa pulau jauh. Sebagai kampung nelayan, tentu saja penduduk kampung kami memiliki rasa hormat yang lebih tinggi kepada mereka yang pernah berlayar bertahun-tahun lamanya. Lebih dari itu, sebenarnya Kampiun sudah menunjukkan kemampuan dan pengetahuannya tentang berlayar dan lautan. Banyak cerita tentang kemampuan Kampiun sebab sudah banyak orang yang pernah diajaknya berlayar dan mengalami kesulitan di tengah lautan. Tapi, Kampiun berhasil membawa mereka kembali ke pantai dengan selamat. Ingat hal ini, hatiku agak tenang juga.

Rembulan membulat sempurna. Sore tadi wujudnya tampak bersentuhan dengan permukaan laut. Sekarang rembulan itu seperti lampu digantung tepat di atas kepala kami. Laut berombak-ombak, menampar-nampar badan perahu, sekali-kali air laut masuk ke lambung perahu. Perahu kami melaju dengan tenang. Tak ada suara di antara kami. Mungkin begitu lebih baik. Kalau saja diperhatikan, mungkin debaran jantung kami lebih keras dari deburan ombak. Sekali-kali sambil mendayung perlahan, aku berdoa dengan memejamkan mata berharap tidak terjadi apa-apa yang menimpa kami.

“Hentikan perahu!” teriak Kampiun tiba-tiba mengejutkan kami.

Sukat mencoba menahan laju perahu dengan dayungnya. Aku pun segera berhenti mendayung, aku coba menahan agar perahu tidak terus melaju. Perahu berhenti. Kecemasan terasa menjalari kami semua.

“Tidakkah kalian rasakan sesuatu?” tanya Kampiun dengan suara perlahan-lahan. Kepalanya dimiring-miringkan, daun telinganya dua atau tiga kali bergerak seperti mencoba mendengarkan sesuatu.

“Ada apa, Bang?” tanya Sarja. Urat-urat di dahinya terlihat muncul. Kami tahu  dia berusaha mengendalikan dirinya dari kecemasan dan ketakutan.

Serentak kami berdiri di atas perahu. Kampiun yang  kami anggap sebagai pimpinan tentu saja berdiri paling depan. Lalu,  diikuti Sukat, Sarja, dan Badrun. Aku sendiri berdiri paling belakang. Kami saling berpandangan. Tapi, memang ada sesuatu yang kami rasakan berbeda. Hanya saja kami tidak tahu apa yang berbeda itu.

“Laut ini tidak berangin…tidak berombak….,” kata Kampiun dari depan perahu.  “Rasanya kita sudah masuk ke wilayah…” Kampiun tidak menyelesaikan ucapannya.

Tiba-tiba Sukat berkata, “Kita di wilayah duyung?”

“Huuush,jangan sebut-sebut namanya!” kata Sarja, mengingatkan Sukat bahwa menyebutkan kata itu di lautan adalah pantangan bagi kami.

Ketika aku melihat ke atas langit, rembulan sudah tidak ada, apalagi bintang-bintang, langit betul-betul hanya hitam pekat. Lampu badai yang tergantung pada tiang perahu apinya kian kecil dan berkedi-kedip sebab kekurangan minyak. Jantungku berdenyut cepat sekali.Aku mencoba untuk tenang. Aku pikir yang lain pun pasti sama denganku.

“Duyung! Duyung!” teriak Badrun mengejutkan kami.

Serentak kami menoleh ke arah Badrun.

“Manaaa?  Manaaa, Drun?!” kata Sarja.

Badrun tidak menjawab. Ia menunjuk ke depan perahu yang sedang mengarah ke batu karang. Tampak ada ke sebuah benda yang seperti terapung di laut. Kami melempar pandangan ke arah benda itu. Jarak kami dengan benda itu beberapa belas meter, tapi sebab tidak ada cahaya, benda itu sulit kami kenali.

“Kenapa kau sebut nama itu, Drun?” kata Sarja menyesalkan ucapan Badrun.

“Maaf… aku tak sadar,” sesal Badrun.

Kami terdiam. Mata kami mencoba melihat benda itu lebih jelas. Ketika perahu tinggal dua atau tiga meter, tampaklah oleh kami bahwa benda itu adalah sosok perempuan yang sangat cantik, serentak kami pun berteriak, “Duyuuuuuuuung!”

Seketika rasa takut pun muncul. Semua wajah pucat pasi, kecuali Kampiun.

“Selamat datang, calon suamiku,” kata sosok perempuan cantik itu. Kami terkejut, tapi juga tidak mengerti kepada siapa ucapan duyung itu ditujukan. “Nayan Tua, ayahmu, benar. Engkau akan datang menemuiku sebagaimana dulu janjinya kepadaku sebagai syarat agar ikan-ikan tetap melimpah untuk menghidupi para nelayan di kampungmu.”

“Ayahku tidak mengirimku ke sini. Tapi, aku sendiri yang datang ke sini sebab aku tak mau warga kampungku menderita. Aku tahu perjanjianmu dengan ayahku ketika pada satu malam beliau menangis dan berbicara sendiri sebab harus mengorbankanku untuk dijadikan suamimu. Tapi, aku datang ke sini atas kesadaranku. Atas keyakinanku bahwa aku harus berkorban demi nelayan di kampungku,” begitu kata Kampiun.

Kami semua terdiam. Rasa takut, rasa cemas berkecamuk.

“Baiklah, melompatkan kemari calon suamiku!” kata duyung itu.

“Aku akan melompat. Tapi, kembalikan teman-temanku ke pantai dan berilah para nelayan ikan-ikan yang berlimpah!” teriak Kampiun.

Tak seorang pun di antara kami yang mampu bersuara.

“Baiklah, aku penuhi permintaanmu. Melompatlah, Kampiun!”

Lalu, bjuuuuuuuuuuuuuuuuuuuur! Kampiun melompat dan membuat perahu bergoyang,lalu menyadarkan kami tapi hanya sebentar sebab sebuah ombak besar tiba-tiba menerjang perahu dan membanting perahu kami di pantai.

Siang hari kami baru tersadarkan setelah setengah hari kami pingsan. Kami dibaringkan di bale-bale kampung nelayan. Ketika Nayan Tua menemui kami, kami melihat ada air mata hendak jatuh ke pipinya. Lelaki tua itu tak berkata apa-apa, seperti kami pun tidak akan bercerita apapun tentang  Kampiun dan laut semalam. Namun, tiba-tiba kami dikejutkan teriakan seorang nelayan yang muncul di pantai, “Hei, lihat! Jaringku penuh dengan ikan!”.

------------Mampang Prapatan 8 maret 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline