Lihat ke Halaman Asli

Ketika Suara (Pernah) Hilang...

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tong-tong-tong! Tong-tong-tong!

Tiba-tiba terdengar  bunyi kentongan saat itu matahari baru saja sepenggalah naik.  Bunyi kentongan seperti itu menandakan penduduk desa yang dewasa harus berkumpul di lapangan balai desa.  Biasanya, ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Pak Kuwu. Bergegaslah seluruh penduduk desa itu pergi ke lapangan balai desa. Tak lebih dari setengah jam,  lapangan balai desa sudah dipenuhi penduduk desa. Wajah-wajah mereka penuh tanda tanya sebab tak seperti biasanya mereka diminta untuk berkumpul tanpa tanda-tanda atau isyarat-isyarat sebelumnya dari Pak Kuwu. Di lapangan balai desa itu, Pak Kuwu dan seseorang yang baru pertama kali mereka lihat sedang berdiri memperhatikan warga yang berdatangan. Setelah lapangan itu penuh, Pak Kuwu memberi isyarat kepada warganya agar tenang dengan mengangkat tangan kanannya, dan seketika mereka pun terdiam.

“Saudara-saudara! Saya mohon maaf mengganggu ketenangan Saudara-saudara dengan meminta berkumpul ke sini. Tapi, ini sesuatu yang penting untuk kesejahteraan desa kita ini. Saudara-saudara, di samping saya, di hadapan Saudara-saudara, berdiri  Pak Bagus yang jauh-jauh datang ke sini yang berjanji akan membeton jalan-jalan di desa kita, berjanji akan mendirikan balai kesehatan, dan berjanji akan membuka lapangan pekerjaan buat kita semua, dan berjanji akan membuat sekolah gratis buat anak-anak kita,” terdengar Pak Kuwu memberikan penjelasan. Kata-kata Pak Kuwu langsung ke intinya. Orang di samping Pak Kuwu yang disebut Pak Bagus itu manggut-manggut dan tak henti-hentinya melempar senyum ke arah warga desa. Mendengar kata-kata Pak Kuwu, air muka warga desa berubah senang. Pada mereka terbayang anak-anak bisa sekolah, hasil bumi bisa diangkut dengan cepat, dan tidak ada yang menganggur lagi.

“Tapi, Saudara-saudara, Pak Bagus pun meminta tolong kepada kita agar mau berteriak menyebutkan nama warna yang kita sukai di mulut gentong ini,” kata Pak Kuwu sambil menunjuk sebuah gentong besar yang sudah disiapkan di lapangan itu.

“Hanya itu, Pak?” tanya Mang Karta yang berdiri dekat Pak Kuwu.

“Caranya bagaimana, Pak?” tanya Yuk Minah yang berdiri dekat Mang Karta.

“Ya, hanya itu saja. Caranya, Bapak-bapak dan Ibu-Ibu antre satu per satu maju ke depan gentong itu, lalu di depan mulut gentongnya Bapak dan Ibu meneriakan warna kesukaan masing-masing. Warna apa saja, teriakan saja di mulut gentong itu, kalau semua sudah meneriakan warna, barulah nati saya tutup mulut gentong itu. Sebulan kemudian, saya akan kembali ke sini menyiapkan untuk membangun jalan dan sekolah. Bagaimana, gampang ‘kan caranya?” jelas Pak Bagus yang langsung mengambil alih percakapan.

“Oooooh, begitu. Ayo, kita mulai. Lebih cepat, lebih bagus!” kata Mang Karta

“Ayooooo!” teriak semuanya.

“Ayo, buat barisan dulu! Maju satu per satu! Jangan lupa teriakan warna yang paling kalian sukai di depan mulut gentong itu! Setelah itu, kalian langsung pulang ke rumah masing-masing,” perintah Pak Kuwu.

Lalu, penduduk desa itu berbaris. Mereka berjalan perlahan-lahan menuju gentong yang sudah disiapkan. Pak Kuwu dan Pak Bagus tersenyum mengawasi mereka.

Di barisan paling depan, ada Mang Karta, diikuti Yuk Minah, Pak Kulo, dan seterusnya. Saat Mang Karta sampai di depan gentong itu, ia maju ke depan berdiri di depan gentong itu, lalu sambil agak membungkuk agar wajahnya lebih dekat ke mulut gentong itu, ia pun berteriak, “Merah!”

Yuk Minah berteriak, “Kuning!”

“Hijau!” teriak Pak Kulo.

“Ungu!”

“Biru!”

“Putih!”

“Hitam!”

“Belang!”

Akhirnya, ketika matahari tepat di atas kepala, semua penduduk sudah pulang ke rumah masing-masing. Di lapangan itu, tinggallah  Pak Kuwu  dan Pak Bagus yang sangat bergembira sekali.

“Terima kasih, Pak Kuwu,” kata Pak Bagus menyalami Pak Kuwu. “Oh ya, nanti sore anak buah saya akan datang ke rumah Bapak membawa sesuatu yang Bapak perlukan yang Bapak ceritakan kepada saya kemarin. Baiklah, Pak, saya pamit.”

“Sama-sama, Pak Bagus. Nanti sore saya tunggu kedatangan anak buah Bapak,” kata Pak Kuwu.

Kedua orang itu pun berpisah. Pak Bagus pulang ke kota sambil membawa gentong besar yang penuh dengan suara nama-nama warna.

Esoknya, kejadian aneh menimpa penduduk desa itu. Semua penduduk desa tidak mampu menyebutkan kata dari nama warna yang mereka sebutkan di depan mulut gentong besar. Mang Karta tidak bisa menyebutkan kata merah, Yuk Minah tidak bisa menyebutkan kata kuning, Pak Kulo tidak bisa menyebutkan kata hijau, dan seterusnya. Lalu, mereka protes pada Pak Kuwu. Kata Pak Kuwu, mereka harus menunggu Pak Bagus sebab Pak Baguslah yang bisa memberikan penjelasan. Namun, sebulan kemudian Pak Bagus tidak datang. Setahun kemudian pun tak datang. Pada akhirnya, Pak Bagus tak pernah datang padahal di koran-koran namanya selalu disebut-sebut sebagai orang hebat. Dan, pada akhirnya mereka hanya pasrah atas ketidakmampuan mereka menyebutkan kata warna.

Kejadian itu lima tahun lalu.

Ketika kemarin pagi mereka dikumpulkan lagi oleh Pak Kuwu di lapangan balai desa, dan mereka diminta menyebutkan warna lagi di depan mulut gentong besar untuk Bu Cantik yang berjanji akan mendirikan sekolah, membuat jalan, dan memberi pekerjaan, mereka justru mengganti kata warna itu dengan sumpah serapah dan makian!

“Bangsat!” teriak Mang Karta di depan mulut gentong.

“Kampret!” teriak Yuk Minah.

“Gemblung!” teriak Pak Kulo.

“Edaaan!”

“Slompreeet!”

“Bajingan!”

Dan, hari ini di desa itu tak ada lagi sumpah serapah dan makian sebab mereka tak bisa menyebutkan sumpah serapah dan makian!

Ciketing, 16 Maret 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline