Jalan Istana Raja adalah jalan paling indah di kota kecil itu. Tidak diperbolehkan kendaraan bermotor melewati jalan itu, jalan itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang berjalan kaki atau bersepeda santai. Panjang jalan itu hanya 2 km dan lebarnya 9 m. Jalan itu merupakan jalan favorit bagi warga kota itu untuk beristirahat dan menenangkan pikiran jika sudah suntuk bekerja. Tidak heran bila setiap akhir pekan, jalan itu sangat ramai.
Di sisi kanan dan kiri jalan itu tak ada bangunan apapun yang berdiri, hanya ada taman dengan bunga-bunga beraneka jenis, serta enam buah patung kuda yang diletakkan 3 buah di kanan dan 3 buah lagi di kiri jalan. Jarak antara satu patung dengan yang lainnya tidak tentu, sembarang saja, tapi bagi mereka yang percaya takhyul, peletakkan dan jarak antarpatung seperti menyimpan rahasia yang perlu dipecahkan. Sebab itu, kadang pada saat tertentu ada sekelompok orang yang berdiskusi hangat membicarakan hal itu.
Patung-patung kuda itu dibuat perupa eksentrik dan karismatik kebanggaan kota itu. Namanya Toendra. Keahlian Toendra membuat patung diwarisinya dari ayahnya, bukan diperolehnya dari bangku sekolah sebab Toendra tidak pernah bersekolah. Tapi, ayah Toendra adalah perupa yang hanya membuat patung dewa-dewa dengan ukuran kecil yang dipercaya akan menjaga rumah dan mendatangkan rezeki. Toendra tidak meneruskan pekerjaan ayahnya itu ketika rumah mereka kebakaran dan menyebabkannya ibunya tewas. Toendra kecewa pada patung dewa-dewa yang dibuat ayahnya yang banyak terdapat di rumahnya.
“Kenapa patung-patung itu tidak mencegah rumah kita dari kebakaran? Kenapa mereka tidak menyelamatkan ibu?” begitu tanyanya kepada ayahnya.
“Sebab patung-patung itu dibuat bukan buat kita, Nak. Malahan, kita menjualnya,” begitu selalu jawab ayahnya. Jawaban yang tidak pernah memuaskan hati Toendra. Jawaban yang membuatnya memutuskan untuk tidak membuat patung dewa-dewa, tapi membuat patung jenis lain. Begitulah, Toendra membuat patung binatang, orang, atau apa saja yang dipesan orang dan disukainya.
Saat Toendra berusia lima belas tahun, ia bisa menyelesaikan patung kuda pesanan Pak Walikota. Pembuatan patung kuda itu sudah hampir lima tahun dan sudah beberapa perupa mencoba menyelesaikannya. Sayangnya, semua perupa itu gagal sebab mereka keburu meninggal sebelum bisa menyelesaikan pembuatan patung itu. Perupa terakhir yang meninggal saat mencoba menyelesaikan patung kuda itu adalah ayah Toendra. Beliau lebih maju dibandingkan perupa lainnya sebab sudah bisa menyelesaikan sekitar dua puluh persen patung kuda itu. Sebelum meninggal, ayah Toendra berpesan agar Toendra menolak tawaran Pak Walikota bila satu saat nanti ia diminta menyelesaikan patung kuda itu. Tapi, rupanya Toendra sendiri yang menemui Pak Walikota untuk meminta pekerjaan itu.
Ketika Toendra mulai bekerja menyelesaikan patung itu, banyak orang yang mengkhawatirkannya. Pak Walikota pun pernah berkali-kali menyarankan Toendra agar berhenti saja. Tapi, rupanya Toendra bergeming. Setiap hari tangan-tangan mahirnya memainkan pahat membentuk detail-detail patung kuda itu. Makin lama patung kuda itu semakin terbentuk. Dan, pada akhirnya patung kuda itu pun jadi! Toendra tidak mengalami apa-apa, ia tetap segar-bugar. Pujian pun berdatangan kepadanya sebab patung kuda yang dbuatnya itu sangat luar biasa: indah, detailnya sempurna, dan menyenangkan jika dipandang. Itu adalah patung kuda jantan yang gagah dan “tampan” sekali. Tampak sekali, Toendra ingin menggabarkan patung kuda jantan itu sebagai kuda jantan yang memikat kuda-kuda betina. Selalu orang akan berdecak kagum melihat patung kuda itu, siapa pun dia.
Patung kuda itu tidak jadi diletakkan di depan kantor walikota, melainkan diletakkan di ujung Jalan Istana Raja sebagai patung pertama yang berdiri di sana.
Patung kuda kedua dibuat Toendra saat ia berumur tiga puluh tahun. Itu pun kuda jantan, tapi kuda perang yang kuat dan perkasa sekali. Saat membuat patung kuda itu, Toendra sempat jatuh sakit. Bahkan, musim hujan yang hampir sepanjang musim hampir-hampir menggagalkan pembuatan patung itu. Sekarang patung itu berdiri tegak di Jalan Istana Raja sekitar 200 m dari patung kuda yang pertama. Lalu, patung kuda ketiga adalah patung kuda jantan dengan ukuran lebih kecil dari kedua patung sebelumnya. Patung itu dibuat saat Toendra berumur tiga puluh tujuh tahun. Selain ukurannya kecil, kuda itu dibuat Toendra dengan mata yang belo. Uniknya, kuda itu sangat disenangi para turis mancanegara yang sering datang ke tempat itu. Di mana letak patung kuda itu? Ya, dua ratus meter dari patung kuda kedua, berdekatan dengan dengan kursi-kursi taman sehingga patung itu lebih sering dilihat dan dinaiki anak-anak.
“Mengapa kau buat patung kuda kecil?” tanya seseorang suatu ketika.
“Apa ada yang salah dengan patung itu?” Toendra malahan balik bertanya.
“Tidak ada,” jawab orang itu.
“Ya, sudah tidak usah ditanyakan alasanku mengapa membuatnya kecil,” sergah Toendra santai.
Lalu, dalam waktu setahun Toendra membuat masyarakat kotanya geger. Toendra membuat sebuah patung kuda gemuk tanpa mata kanan! Orang-orang protes! Tapi, tak sedikit pula yang mendukung Toendra.
“Kalian tidak paham apa-apa tentang seni,” begitu katanya kepada para pemrotesnya. Tapi, kepada pendukungnya, ia berkata, “Kalian hanya paham sedikit tentang seni.”
Oleh para pendukungnya, patung kuda itu diletakkan Jalan Istana Raja berseberangan dengan patung kuda yang pertama.
Enam bulan kemudian, Toendra membuat patung kuda lagi. Sebuah patung kuda betina! Patung itu langsung menyulut kotroversi di dunia seni rupa. Para perupa dari beberapa kota protes sebab dalam tradisi seni rupa, patung kuda yang boleh dibuat hanyalah patung kuda jantan!
“Ah, biarkan saja! Jantan atau betina tidak jadi masalah! Yang penting aku membuat patung ini sepenuh hatiku!” begitu jawaban Toendra jika ditanya alasannya.
Patung kuda betina itu pun diletakkan sekitar 50 meter dari patung kuda gemuk.
Tiga tahun kemudian, entah angin perubahan apa yang berhembus pada diri Toendra. Tapi, yang jelas Toendra kembali membuat patung kuda jantan yang gagah dan perkasa. Tak ada yang ganjil pada fisik patung kuda itu. Orang-orang menyukai patung kuda itu.
“Sayang ya, patung kudanya agak gemuk,” kata seseorang.
“Yang benar?” tanya temannya.
“Coba saja perhatikan! Ukuran badannya lebih mirip ukuran badan kerban, bukan?”
Temannya diam.Tak berkomentar lagi.
Patung kuda itu sekarang bisa dilihat di Jalan Istana Raja, letaknya sekitar lima ratus meter dari patung kuda betina. Dibanding dengan patung kuda yang lain, patung kuda itu lebih banyak didatangi orang, bahkan orang lebih senang berfoto-foto dengan patung kuda itu.
Namun, setelah patung kuda itu,Toendra tiba-tiba hilang dari kota kecil itu. Tak ada yang tahu ke mana persisnya Toendra pergi, tapi yang jelas Toendra pergi ke arah pantai, lalu beberapa orang melihatnya ia naik perahu nelayan.
Hampir lima tahun tidak ada kabar berita tentang Toendra.
Sudah seminggu kota itu dibuat geger ketika tujuh ratus meter dari patung kuda terakhir, ada seorang laki-laki tua sedang mencoba memahat batu besar yang disediakan oleh masyarakat sebagai monumen bahwa di kota itu pernah ada perupa besar. Batu itu besar, tapi tidak berbentuk apa-apa. Entah apa yang dipikirkan para sesepuh kota itu ketika menganggap batu besar itu sebagai monumen.
Beberapa orang mengenali laki-laki tua itu adalah Toendra. Tapi, saat ditanyakan kepadanya, laki-laki tua itu tak menjawabnya, ia terus bekerja.
Banyak orang mulai menebak-nebak apa yang sedang dibuat lelaki tua itu. Sampai akhirnya pada suatu hari orang-orang itu berkumpul di sebuah tempat di Jalan Istana Raja sambil mengamati Toendra bekerja.
“Kalau dia itu Toendra, pasti yang dibuatnya adalah patung kuda,” kata seseorang.
“Ya, pasti,” begitu kata yang lain.
“Ayo bertaruh! Patung kuda seperti apa yang dibuatnya?” tiba-tiba ada seseorang yang punya ide seperti itu.
“Ayo!” kata yang lainnya serempak.
“Pasti kuda jantan!” kata satu orang.
“Harus spesifik! Kuda jantan seperti apa?” kata yang lainnya.
“Kuda jantan kerempeng!” teriak orang itu lagi.
“Catat tuh!” yang lain berkata.
“Kuda jantan yang suka perang!”
“Kuda jantan yang suka diam di bawah pohon!”
“Kuda jantan yang….yang….”
“Kuda jantan yang…yang….yang….”
Tapi, esoknya laki-laki tua itu pun hilang. Batu besar itu baru dicoret-coret saja dengan kapur sebagai tanda bagian-bagian yang akan dipahatnya. Ya, jelas dari coretan kapur itu, laki-laki tua itu akan membuat patung kuda! Tapi, belum jelas patung kuda seperti apa.
----------------------------------------Tambun-Karawang, 17 April 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H