Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fahrudin

Ingin selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya

Ketika Buku Mulai Dilupakan

Diperbarui: 9 Maret 2017   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="lupa"][/caption]Banyak sekali cerita apabila kita berbicara tentang buku, mulai dari kita awal sekolah, kita tak lepas dari buku, baik buku tulis maupun buku paket, maka dapat dikatakan pendidikan negeri ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah benda yang terbuat dari lembaran-lembaran terbendel indah, tersampul sehingga kelihatan menarik. 

Buku adalah pembuka cakrawala ilmu pengetahuan, namun sekarang ini budaya membaca buku dikalangan generasi muda negeri ini semakin jarang ditemukan. Silahkan dicermati, dimanapun kita bertemu dengan anak muda mereka lebih disibukan dengan alat yang disebut HP, gadget, dan sejenisnya, entah apa yang dilakukan, tetapi bisa dipastikan mereka tidak membaca buku (lha wong yang dipegang saja bukan buku), ironis sekali buku sudah mulai dilupakan. Hal itu terjadi tidak hanya di tempat umum, tetapi di sekolah pun sudah menjadi adat atau kebiasaan bahkan membudaya kalau buku sudah kalah dengan peralatan canggih dan memikat itu. Padahal tanggal 17 Mei di Indonesia dikenal sebagai Hari Buku Nasional dan Hari PERPUNAS, masih ingatkah generasi kita? Bandingkan dengan tanggal 14 Pebruari, tanggal apakah itu?.

Sejarah mencatat bagaimana kejayaan Islam pada masa dinasti Abbasiyah, ketika itu banyak ilmuan muslim, filusuf muslim, perpustakaan, dan sentra-sentra ilmu pengetahuan bermunculan sebagai salah satu kekuatan kejayaan Islam pada masa itu. Tetapi, hal itu hilang seketika saat penyerangan bangsa Mongol (1258) setelah memporak – porandakan negeri Baghdad kemudian menghancurkan perpustakaan, dengan keji membakar buku-buku dan membuangnya ke sungai Trigis. Itulah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam. Tumpukan api unggun konon menyamai ketinggian masjid Agung Baghdad.

Ungkapan Dauzan Farook “Buku adalah peluru untuk dijadikan senjata melawan kehidupan, apalagi zaman globalisasi sekarang ini. Senjata utama untuk berperang adalah ilmu, dan ilmu diperoleh dengan membaca”. Ungkapan yang sederhana, tetapi mengandung makna yang mendalam. Tidak berlebihan menurut saya ungkapan di atas, hal ini memang bisa dijadikan perenungan tentang kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini. Generasi muda sudah jauh dari buku. Bahkan Taufik Ismail menyebutnya dengan “Tragedi Nol Buku”, yaitu terlantarnya kewajiban membaca buku sastra di sekolah-sekolah kita. Itulah yang terjadi pada dunia pendidikan Indonesia.

Saya sendiri mengakui kalau kebiasaan membaca saya belum stabil, kadang semangat, kadang spirit menurun, sehingga memerlukan asupan energi untuk menyuntik semangat. Tetapi itu wajar, memang itu merupakan sifat manusiawi dari seorang insan. Dalam hal mengoleksi buku mungkin inilah yang kalau dibandingakan dengan membaca buku semangat saya lebih tinggi. Dalam berbagai kesempatan dimana ada penjual buku, baik pameran, obral ataupun ketika mampir di toko buku,  saya usahakan untuk membeli, walaupun nantinya belum tentu saya baca. Dipikiran saya ini merupakan kesempatan untuk mengamankan buku-buku itu ketika nanti saya tidak bisa menemukan dan menjumpainya lagi dikesempatan lain.

Buku adalah pedang, jika kita tidak memanfaatkannya dengan baik bisa jadi kita sendiri yang akan terkena sayatannya, menjadi korban sayatan kebodohan karena meupakan buku. Semoga generasi kita tetap ingat dan cinta akan buku! Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline