Dikisahkan ketika Nabi Nuh Alaihi Salam, sedang membuat bahtera raksasa di puncak gunung yang menjulang banyak orang yang mencemoohnya dan tidak sedikit yang mengatakannya kurang waras. "membuat bahtera kok di puncak gunung", begitulah pemikiran banyak orang saat itu. Endingnya banjir besar melanda, semua tenggelam kecuali nabi Nuh AS. beserta pengikut yang seiman dengannya.
Sesungguhnya sejarah akan selalu berulang cuma wujud dan fenomenanya yang berbeda, dalam dunia teknologi informasi masih belum lenyap dalam ingatan kita legenda hape yang namanya Nokia, bahkan Nokia telah banyak melahirkan banyak masterpiece yang dinobatkannya menjadi hape "sejuta umat", tapi Nokia terlambat membangun bahteranya. ketika awal-awal Android muncul Nokia masih merajai dunia perhapean dan masih "keukeuh" membanggakan Symbian sebagai operational system andalannya. Gagal membaca jaman itulah yang terjadi Nokia tergerus dan untung saja di selamatkan oleh Microsoft, meski perlu perjuangan bagi Microsoft untuk mempertahankannya.
Fenomena lain kita dapati di Telkom, sebagai perusahaan plat merah yang awal-awal core bisnisnya di jaringan telepon kabel, berhasil menangkap tanda-tanda perubahan. di awal-awal ketika telkomsel masih mengandalkan penghasilannya dari fixed line, teknologi Global system for mobile communication merupakan ide nyeleneh.
Gimana tidak orang-orang sudah sangat dimudahkan dengan terknologi wire, ini mau buat radio frequency. Tak sedikit yang mengolok-olok Telkom gara-gara mendirikan perusahaan kecil yang bernama Telkomsel, di awal-awal Telkomsel berdiri, orang-orang memandang perusahaan apa ini, bahkan ada sedikit yang membuatnya nggak waras, karena biasanya ketika suatu perusahaan berdiri pasar yang didekatinya niche market yang besar seperti Jakarta, Surabaya atau Bandung. lha ini, Telkomsel bukan menjadikan Jakarta, dan kawan-kawannya, sebagai pasarnya tapi, Batam. Orang makin geleng-geleng kepala, "gendeng bin gelo alias gila telkomsel ini". endingnya sekarang Telkomsel menjadi perusahaan penyuplai pemasukan terbesar bagi induknya.
Kembali ke laptop, how are Fasilitator PNPM?, ingat banjir besar bukan hanya ancaman tapi sudah terjadi. Sesungguhnya tanda-tanda datangnya banjir besar sudah penulis dengar sejak September 2014. Berawal dari silent listenernya, dalam sebuah diskusi di Majalengka. Diskusi yang bermaterikan politik, lebih mendominasi dalam diskusi saat itu, namun satu hal yang menjadi penegasan saat itu, ketika salah seorang berkata “bahwa sekarang saat nya partai XXX yang berkuasa di desa karena menterinya berasal dari sana, jadi kita sebagai Fasilitator PNPM kalau mau masuk mesti mengucapkan salam dan mengetok pintu, soal diijinkan masuk tidaknya kerumah terserah yang punya rumah".
Prediksi yang akurat untuk menggambarkan kegalauan fasilitator PNPM saat ini, gimana tidak?, banyak dari teman kita sudah mengabdikan belasan tahun mengabdi ke desa, tiba-tiba harus mengetuk pintu bareng dengan orang yang baru lulus kuliah yang mungkin saja pengalamannya kurang dalam pendampingan masyarakat. suatu hal yang ironi ditengah ironinya seorang menteri yang marah-marah dikarenakan ketinggalan pesawat karena terlambat check in dan meminta untuk diganti direksinya (http://aviatren.com/2016/02/telat-check-in-dan-ditinggal-terbang-menteri-marwan-jafar-minta-direksi-garuda-diganti/).
Point of view yang dapat diambil pelajaran adalah :
1. Banjir Besar pasti datang
Dalam perjalanan menuju majalengka di bulan September 2014. Saya dan rekan membicarakan hal ini, pada saat itu rekan saya sudah menyiapkan beberapa strategi untuk menghadapinya, berbeda dengan respon yang saya dapati dengan beberapa rekan yang menganggap bahwa tidak mungkin berubah karena PNPM adalah program terbaik yang dirasakan oleh masyarakat. Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri, demikian Khalil Gibran pernah bertitah.
2. Bangun Bahtera Nuhmu