Bagi para perokok aktif, kegiatan menghisap sebatang rokok adalah sebuah kebiasaan yang rutin di lakukan setiap hari. Boleh di katakan tidak ada hari tanpa asap tembakau. Siang atau malam, dalam keadaan senggang atau sedang bekerja, baik ketika keuangan sedang lapang, maupun ketika ekonomi sedang kesempitan. Merokok tetap prioritas utama.
"Lebih baik putus cinta daripada putus rokok" sepertinya bukan slogan kosong belaka. Bagi para perokok, sebatang rokok bisa menghadirkan seribu macam sensasi yang bisa meringankan beban pikiran, mendatangkan ketenangan, bahkan beberapa perokok pernah menjawab bahwa rokok bisa mendatangkan kebahagiaan. Kesehatan? ini bisa urusan belakangan. Bagaimana bila tidak ada uang?
Kenyataan mengejutkan adalah ketika para orang miskin lebih suka menghabiskan sebahagian pendapatanya sehari hari untuk membeli sebungkus rokok daripada memenuhi kebutuhan diri dan keluarga akan makanan bergizi. Ini ironis.
Setelah bekerja keras seharian, berbekal tekad untuk mencukupi kebutuhan pangan bergizi untuk keluarga tersayang, namun kenyataan lebih memprioritaskan membeli rokok ketimbang membeli sumber makanan bergizi buat anggota keluarga.
Tidak kurang dari menteri keuangan, Sri Mulyani ikut menyoroti hal ini. "Ini [rokok] kedua tertinggi sesudah beras. Melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu dan tempe."
Mengapa banyak orang miskin lebih memilih rokok ketimbang membeli makanan bergizi?
Anda punya uang kemudian membeli rokok, itu terlihat masih rasional. tapi jika anda tidak punya uang cukup, kebutuhan keluarga akan kebutuhan pokok semacam makanan bergizi belum tercukupi, anak dan keluarga lebih membutuhkan asupan makanan bernutrisi dan berprotein untuk menunjang tumbuh kembang dan kecerdasan, tetapi anda lebih memilih mendahulukan membeli sebungkus rokok sebagai prioritas, kalimat apa yang bisa dipakai untuk menggambarkar keadaan menyedihkan ini.
Ada 12,21% rumah tangga miskin perkotaan yang mengkonsumsi rokok, dan ada 11,36% rumah tangga miskin pedesaan yang aktif mengkonsumsi rokok., ini artinya, ada sekian banyak anggota keluarga yang belum tercukupi kebutuhan gizinya secara baik, namun alokasi pengeluaran biaya hidup harus tergerus oleh kebutuhan akan rokok yang jelas jelas bisa mengganggu kesehatan, menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan generasi mendatang, dan menimbulkan potensi besar bagi tumbuhnya bermacam penyakit bagi masyarakat miskin.
Ada pendapat brilian dari Prof Bagong Suyanto, pakar sosiologi ekonomi UNAIR, bahwa rokok dan kemiskinan itu punya hubungan erat. Dan bisa jadi, dalam keluarga miskin sesungguhnya telah terjadi proses pembelajaran tentang budaya merokok.
Seorang bapak yang perokok aktif, saban hari mencontohkan cara merokok dan kebiasaanya kepada anggota keluarganya, anak remaja yang setelah melihat rutinitas para orang tua perokok kemudian mulai meniru mengkonsumsi rokok, mulanya perokok pasif, kemudian lambat laun akan menjadi perokok berat. Lingkaran perokok terus berulang, dari genersi kegenerasi miskin terjadi pembelajaran cara merokok yang berkesinambungan.
Mengapa?